Dokter Harga Mati
Era 1980-an, sebagian besar orangtua di Kabupaten Tabanan, hanya mengenal dua profesi yang paling keren, yakni dokter dan insinyur. Itu sebabnya, Wayan Kerata dan Ni Ketut Tirtawati mendoktrin anak kelimanya, Ni Putu Tirka Widanti, harus menjadi dokter. Harga mati. Tidak bisa ditawar!
Alur kehidupan Tirka Widanti berkata lain. Tidak seirama dengan keinginan orangtuanya. Meski dikenal berprestasi, Tirka Widanti gagal dalam seleksi masuk Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud).
Kecewa, sedih, minder campur jadi satu. Tirka Widanti merasa layangan cita-cita yang ia terbangkan hampir putus tali. Untungnya Tirka Widanti muda masih bisa berpikir sehat.Â
Ia melampiaskan kekecewaannya dengan bekerja di sebuah hotel. Keputusannya didukung oleh iklim industri pariwisata di Bali sedang berkembang saat itu ditambah kemampuan bahasa Inggrisnya yang mumpuni.
Maklum sejak di bangku SMP, Tirka Widanti berhasil mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar dari Pemerintah Australia. Hubungannya dengan Negeri Kangguru itu pun berjalan hingga kini, sehingga Australia sudah seperti rumah keduanya. Karirnya di dunia hospitality berjalan mulus.
Kewajiban "menebus dosa" akibat tidak lulus fakultas kedokteran pun mulai dipikirkan. Ia mendaftarkan diri di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Warmadewa. Namun perjalanannya menggenggam gelar sarjana tidak semulus jalan hotmix.Â
Tirka Widanti sempat terlena. Terlalu asyik bekerja, menikmati pundi-pundi rupiah hasil keringat sendiri. Bahkan ia memutuskan menikah di usia 22 tahun. Alhasil, kuliahnya pun terbengkalai. Padahal sudah memasuki semester akhir.
Ancaman drop out (DO) sempat membayangi. Akhirnya ia pun mengejar ketertinggalan itu setelah 4 tahun terjeda. Sambil bekerja dan mengurus rumah tangga, di sinilah justru menjadi titik "jengah" seorang Tirka Widanti.Â
Ia memutuskan melanjutkan pendidikan magister/S2 di Warnbourough University United Kingdom mengambil Program Magister Bisnis Administrasi.Â
Merasa perlu meningkatkan kualitas diri di bidang manajemen, Tirka Widanti kembali melanjutkan pendidikan Magister Manajemen di STIE Artha Bhodi Iswara, Surabaya. Menariknya, gelar Magister Manajemen diselesaikan di tahun yang sama dengan Gelar Doktor Ilmu Administrasi di Universitas 17 Agustus Surabaya pada 2009.
Berangkat dari prinsip hidup "tidak pernah berhenti belajar", Tirka Widanti kembali menempuh pendidikan Magister Linguistik di alamater pertamanya, Universitas Warmadewa. Padahal ia sudah menggenggam doktor, kasta akademik tertinggi.
Nyebrang, dari Hospitality ke Dosen
Rektor Universitas Ngurah Rai (UNR) kala itu, Nyoman Sura Adi Tanaya, secara tak sengaja menyaksikan Ujian Promosi Doktor Tirka Widanti di Universitas 17 Agustus Surabaya. Kebetulan, Sura Adi juga sedang menempuh studi doktor di kampus itu.
"Di sinilah Pak Sura dan Pak Gung Raka Ketua Yayasan Jagadhita bilang mau "pinjem" ijazah saya. Ternyata saya didaftarin sebagai dosen. Saya 'kagok' juga. Apa saya bisa ngajar? Dunia yang belum saya kenal," kenang Tirka Widanti yang lahir dari pasangan guru dan perawat ini.
Belajar tiada henti. Prinsip itu kembali diamini. Dan, ternyata kehadirannya di UNR menjadi rekor tersendiri. Ia adalah dosen Yayasan Jagadhita pertama yang bergelar doktor tahun itu. Sebelumnya memang ada beberapa dosen berkualifikasi doktor tapi sudah pindah home base.Â
Meski banyak suara sumbang yang meragukan kapasitasnya di bidang pendidikan tinggi, namun ia bisa membuktikan dengan kinerja maksimal.
UNR yang berada di bawah Yayasan Jagadhita Denpasar terus memberikan kepercayaan kepada Tirka Widanti. Jabatan-jabatan strategis pernah ia emban. Klimaksnya sampai dipercaya mendudiki jabatan Rektor UNR hingga dua periode.
Pencapaian Tirka Widanti di bidang pendidikan tinggi pun mencapai klimaks pada 2023 setelah ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap bidang/kepakaran Administrasi Publik. Rektor/guru besar perempuan di perguruan tinggi di Bali tergolong sesuatu yang langka.Â
Tirka Widanti membagikan penggalan singkat kisah hidupnya di The Bridge, Green School Bali, Rabu (11/6/2025). Puluhan undangan yang dimoninasi kaum hawa pun tampak antusias dan termotivasi. Saat ini ia masih menjabat Ketua Yayasan Kulkul Green School.
Bincang santai bertajuk "Menata Kehidupan di Usia 60-an: Regeneratif dan Kehidupan Alami Masa Kini" itu, bertujuan untuk mempersiapkan diri menghadapi fase kehidupan, yang akan diabadikan dalam sebuah buku melibatkan sejumlah penulis.
"Saya pernah berpikir, kenapa saya lahur di dunia ini, mau jadi apa saya? Kapan saya meninggal? Banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab. Namun seiring waktu, menjelang usia 60 tahun, banyak yang mulai terungkap bahkan saya senyum-senyum sendiri," ungkapnya.
Berdasarkan referensi yang dia baca, bahwa semakin tua usia seseorang, rada percaya diri semakin kuat. Karena titik kepuasan sebagian besar manusia baru dicapai di usia ini. Ada rasa puas yang muncul dalam fase ini.
Prof. Dr. Ni Putu Tirka Widanti, SS., MBA., MM., M.Hum., membagi fase-fase kehidupan sebagai berikut:
Pertama, 0-20 tahun. Usia ini dikatakan sebagai usia dasar pembentukan karakter. Tirka Widanti pun merasa teori-teori yang berkembang tetang fase kehidupan, tidak jauh berbeda dari pengalaman pribadinya.Â
Di usia ini, ia pernah merasa terpukul akibat gagal meraih kursi perguruan tinggi negeri khususnya fakultas kedokteran.Â
Usia 30-40 tahun. Berdasarkan pengalaman pribadinya, dalam fase ini ia dan keluarga fokus pada pendidikan, pangan, sandang dan papan.Â
"Usia ini sedang pingin banget punya ini itu. Mobil lah, rumah lah. Lanjutin pendidikan saya dan anak-anak juga. Tapi Astungkara fase ini kami lalui dengan lancar," kenangnya.Â
Papatah "Kehidupan baru dimulai sejak usia 40 tahun" benar-benar ia rasakan. Di fase 40-50 tahun, ia menamatkan studi doktor. Fase saat ini, 50-60 kematangan hidup semakin ia rasakan, meskipun ia tak pernah merasa berada di puncak kesuksesan.Â
"Saya tidak pernah merasa menjadi orang sukses. Susah mendefinisikan. Sebab prinsip yang saya pegang, jangan pernah berhenti belajar," ungkapnya.
Secara de facto dan de jure, saat ini, menjelang 60 tahun usianya, Prof. Tirka Widanti tergolong paripurna dalam hal pencapaian hidup. Menjabat Rektor, Profesor, Petinggi di Green School juga berwirausaha.Â
Soal anak-anak, ia dan suami sejak awal sepakat menyerahkan pilihan hidup masing-masing. Yang penting bertanggung jawab atas pilihannya. Salah satu dari 3 buah hatinya benar-benar menjadi dokter. Membayar "utang" ibunya ke mendiang kakek-neneknya.
"Saya tidak pernah memaksa anak-anak harus jadi apa sesuai keinginan orangtua, seperti yang saya alami dulu. Biarkan saja mereka berkembang sesuai eranya," tegasnya.
Bincang sore itu juga dihadiri oleh Prof. Dr. I Gusti Ayu Suasthi, Dr. Ni Kadek Supri, Putu Candrawati. Prof. Tirka Widanti lahir dari proses panjang fase kehidupan yang diperjuangkan, bukan sekadar bermodal bakat alami.Â