AA.Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda
Di sebuah ruang rapat megah, seorang pemimpin duduk di kursinya yang tinggi, diapit oleh deretan bawahan yang menunggu arahannya. Jasnya licin, dasinya sempurna, dan namanya tertulis dengan huruf emas di meja. Namun, saat rapat berlangsung, tatapan para peserta justru tertuju ke sosok lain—bawahannya yang lebih vokal, lebih tegas, lebih memahami permasalahan. Sang pemimpin hanya duduk diam, sesekali mengangguk, lalu menyerahkan keputusan kepada timnya. Tidak ada visi, tidak ada kepemimpinan yang nyata, hanya eksistensi tanpa substansi.
Pemandangan seperti ini bukan hal asing di banyak organisasi. Banyak pemimpin secara formal menduduki posisi strategis, tetapi gagal menunjukkan kepemimpinan yang efektif. Serupa dengan konsep “lavender marriage” yang menutupi realitas sesungguhnya dengan ilusi, fenomena ini kemudian saya sebut sebagai “Lavender Leadership”. Sebuah kepemimpinan yang hanya menjadi simbol tanpa substansi,
Mereka hadir, tetapi seolah tiada. Mereka memiliki otoritas, tetapi tidak memiliki pengaruh. Mereka menerima mandat, tetapi tidak memiliki keberanian mengambil keputusan besar. Alih-alih menjadi pemimpin yang memandu organisasi menuju perubahan, mereka justru menjadi penghalang kemajuan, membiarkan birokrasi berjalan tanpa arah.
Di banyak organisasi, jabatan kepemimpinan sering kali diberikan bukan karena kapasitas, tetapi karena administrasi. Mereka yang terpilih bukanlah yang paling visioner, bukan pula yang memiliki kemampuan untuk memimpin perubahan, melainkan mereka yang sekadar memenuhi syarat administratif: senioritas, loyalitas, atau bahkan kedekatan politik. Pemimpin seperti ini lahir dari level kepemimpinan yang paling bawah, yakni dengan Surat Keputusan (SK), tetapi bukan dari kredibilitas dan kompetensi.
Pemimpin SK: Sekadar Ada, Tanpa Makna
Lavender Leadership ini hadir bukan sebagai agen perubahan, melainkan sebagai penjaga status quo. Mereka tidak menyalakan semangat, tidak menghadirkan visi, dan tidak menjadi magnet bagi inovasi. Yang mereka lakukan hanyalah memastikan roda birokrasi tetap berputar, tetapi tanpa tujuan yang jelas. Mereka memimpin dengan pola pikir “menjalankan tugas” alih-alih “menginspirasi perubahan.” Tidak heran jika di bawah kepemimpinan mereka, organisasi lebih banyak berjalan di tempat, terjebak dalam rutinitas tanpa terobosan.
Lebih parah lagi, banyak dari mereka yang menganggap jabatan sebagai pencapaian, bukan sebagai amanah. Mentalitas ini membuat mereka lebih sibuk mempertahankan posisi daripada bekerja untuk kemajuan organisasi. Mereka menghindari risiko, enggan mengambil keputusan yang berani, dan cenderung mencari aman. Alih-alih memimpin dengan ketegasan, mereka memilih jalan kompromi dan mengikuti arus. Akibatnya, organisasi yang seharusnya bergerak maju justru terjebak dalam stagnasi.
Lalu, bagaimana organisasi bisa berkembang jika pemimpinnya tidak memiliki gairah untuk membawa perubahan? Tanpa pemimpin yang memiliki visi dan keberanian, organisasi hanya akan menjadi mesin birokrasi tanpa arah, bergerak tapi tidak menuju kemajuan. Inilah bahaya terbesar dari Lavender Leadership—kepemimpinan yang hanya ada secara administratif, tetapi absen dalam peran sesungguhnya.
Dampak Buruk bagi Organisasi
Fenomena Lavender Leadership memiliki implikasi serius. Dampak buruk dari fenomena ini akan sangat terasa pada motivasi anggota organisasi yang semakin menurun. Tanpa arahan yang jelas, tujuan dan visi organisasi menjadi kabur, yang berujung pada rendahnya semangat kerja. Pegawai atau anggota tim tidak merasakan adanya keberlanjutan dan dukungan yang berasal dari pimpinan mereka, yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk mencapai tujuan bersama. Ketidakmampuan pemimpin untuk berfungsi sebagai motivator juga akan menciptakan kesenjangan antara level manajerial dengan tim pelaksana, memunculkan rasa apatisme dan ketidakpercayaan terhadap sistem organisasi. Bahkan, lebih parah lagi, kinerja yang tidak optimal menjadi wabah yang merusak kesatuan tujuan dalam organisasi.
Pada jangka panjang, “Lavender Leadership” dapat mengarah pada krisis kepercayaan yang lebih besar di dalam organisasi. Ketika pemimpin gagal menunjukkan kompetensinya dan hanya mengandalkan status formalnya, pegawai akan semakin sulit untuk berkomitmen pada visi dan misi yang ada. Penurunan kinerja dan hilangnya kepercayaan dari anggota tim akan berimbas pada stagnasi dalam pencapaian tujuan organisasi. Dalam situasi ini, pemimpin yang sejatinya seharusnya menjadi agen perubahan malah menjadi penghambat, menciptakan atmosfer kerja yang penuh ketidakpastian dan kebingungan. Akibatnya, organisasi yang seharusnya bergerak maju menjadi terjebak dalam pola stagnan, dengan para pemimpin yang lebih sibuk mempertahankan statusnya daripada menjalankan peran sebenarnya.
Dalam perspektif Leading for Legacy, fenomena ini menunjukkan bagaimana pemimpin yang gagal membangun warisan kepemimpinan akan meninggalkan organisasi dalam kondisi yang lemah dan tidak berdaya. Konsep ini menekankan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya diukur dari masa jabatan seseorang, tetapi dari dampak jangka panjang yang ditinggalkannya bagi organisasi. Pemimpin yang hanya fokus pada kepentingan pribadi atau statusnya akan kehilangan kesempatan untuk membentuk budaya organisasi yang kuat dan berkelanjutan. Sebaliknya, pemimpin yang memiliki visi jangka panjang akan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berorientasi pada keberlanjutan dan pertumbuhan organisasi, bukan sekadar eksistensi sementara. Tanpa kesadaran ini, organisasi akan terus mengalami regenerasi kepemimpinan yang lemah, menciptakan siklus stagnasi yang sulit diputus.
Menemukan Jalan Keluar
Lavender Leadership tidak bisa dibiarkan terus tumbuh. Dibutuhkan langkah nyata untuk membangun kembali kepemimpinan yang berorientasi pada integritas, kompetensi, dan keberanian mengambil keputusan yang berdampak positif bagi organisasi. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
1.Reformasi Sistem Rekrutmen Pemimpin – Jabatan kepemimpinan tidak boleh hanya ditentukan berdasarkan kedekatan politik atau administratif semata. Harus ada mekanisme seleksi yang mempertimbangkan aspek kompetensi kepemimpinan yang terbukti.
2.Penguatan Budaya Kepemimpinan yang Transformasional – Organisasi perlu menanamkan budaya kepemimpinan yang berbasis pada nilai-nilai kepemimpinan yang kuat, seperti integritas, komunikasi efektif, dan inovasi.
3.Evaluasi dan Akuntabilitas – Setiap pemimpin harus dievaluasi secara berkala berdasarkan kinerjanya, bukan hanya dari aspek administratif tetapi juga dari dampaknya terhadap organisasi dan tim yang dipimpinnya.
4.Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan – Program pelatihan kepemimpinan harus menjadi bagian integral dalam organisasi, sehingga pemimpin tidak hanya diberikan jabatan, tetapi juga dibekali dengan keterampilan kepemimpinan yang mumpuni.
Hal yang paling penting adalah pemimpin harus berani menaikkan level kepemimpinannya, tidak hanya berhenti pada SK, tetapi juga melangkah ke ijin, produktifitas, kaderisasi, dan penguasaan diri. Berdasarkan SK saja belum cukup, pemimpin harus benar-benar memiliki izin moral dan legitimasi (ijin) dari tim yang dipimpinnya. Namun, kepemimpinan tidak boleh berhenti di situ. Pemimpin sejati harus melangkah lebih jauh ke produktifitas, di mana kehadirannya menciptakan nilai nyata bagi organisasi, bukan sekadar menjadi simbol kekuasaan. Lebih dari itu, kaderisasi menjadi aspek krusial yang membedakan pemimpin yang hanya menikmati jabatan dengan pemimpin yang benar-benar berkontribusi.
Pemimpin sejati memastikan bahwa ada regenerasi yang kuat, membangun individu-individu yang siap meneruskan perjuangan organisasi. Pada puncaknya, penguasaan diri menjadi landasan utama, karena tanpa kepemimpinan atas diri sendiri—atas ego, ambisi, dan ketakutan—seorang pemimpin tidak akan mampu mengarahkan orang lain secara autentik dan visioner.
Lebih dari sekadar menjalankan peran sehari-hari, pemimpin harus menyadari bahwa setiap tindakan mereka meninggalkan jejak yang akan membentuk warisan kepemimpinan (legacy). Warisan ini tidak hanya tercermin dalam hasil kerja selama masa jabatan, tetapi juga dalam budaya, sistem, dan pemimpin-pemimpin baru yang mereka hasilkan. Pemimpin yang hanya mencari validasi jabatan tanpa membangun fondasi yang kuat akan meninggalkan organisasi dalam kondisi stagnan, atau bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Sebaliknya, pemimpin yang sadar akan legacy akan memastikan bahwa jejak yang ditinggalkan adalah sistem yang lebih baik, individu-individu yang lebih berkembang, serta visi yang tetap hidup meskipun kepemimpinan mereka telah berakhir. Kepemimpinan sejati bukan sekadar hadir dalam nama, tetapi hidup dalam jejak yang bermakna.