DENPASAR-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Hasil rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU saat ini memang berpotensi untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pihak yang merasa dirugikan dan tak puas. Persoalan gugatan sudah ada sejak Pemilu 2009 yang lalu. Untuk pihak penyelenggara tak perlu takut dan hadapi dengan baik.
Pengamat politik asal Universitas Ngurah Rai Denpasar, Luh Putu Riniti Rahayu menyatakan, data dan fakta Pemilu 2019 secara nasional jumlah gugatan/permohonan sengketa hasil Pemilu yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Mantan anggota KPUD Bali ini menyebutkan dalam catatannya pada Pemilu 2009 sebanyak 628 pemohon, tahun 2014 sebanyak 903 pemohon dan Pemilu tahun 2019 sebanyak 325 pemohon.
Terkait gugatan dari Paslon Nomor Urut Dua ke Mahkamah Konstitusi (MK), Luh Riniti menyebutkan jika hal itu merupakan hal yang wajar. Langkah mengajukan gugatan bisa dikategorikan sebagai ketidakpuasan dalam proses berdemokrasi dengan cara konstitusional. Diharapkan, tidak lagi menyampaikan ketidakpuasannya dengan cara-cara demonstrasi yang sangat berisiko apalagi ditunggangi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. "Saya kira itu tidak menjadi masalah. Jadi seharusnya semua gugatan yang diajukan harus dihadapi dengan baik," jelasnya, Minggu (26/05).
Disisi lain, dibandingkan dengan Pemilu sebelum-sebelumnya, tingkat partisipasi pemilih terus mengalami peningkatan. Pada Pemilu 2009, tingkat partisipasi pemilih pada Pileg sebesar 70,9% dan Pilpres sebanyak 71,7%. Pemilu 2014, Pileg sebanyak 75,2%, Pilpres sebanyak 70%. Sementara pada Pemilu 2019 ini, partisipasi pemilih pada Pileg mencapai 81,69% dan Pilpres sebanyak 81,97%.
Dengan meningkatnya partisipasi pemilih tersebut, bisa dikatakan bahwa antusiasme masyarakat sangat tinggi. Padahal Pemilu tahun ini adalah pemilu serentak yang pertama kali digelar di republik ini. "Pemilu yang paling rumit sejak Pemilu digelar tahun 1955," pungkasnya. (her)