DENPASAR – fajarbali.com | Stunting atau pendek adalah salah satu bentuk kekurangan gizi. Banyak orang berpikir bahwa tinggi seorang anak bergantung pada faktor genetik (keturunan) dan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah atau memperbaikinya.
Sebenarnya pendek adalah kondisi serius yang terjadi saat seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat dalam waktu yang lama (kronik), sehingga sebenarnya stunting dapat dicegah dengan asupan gizi yang memadai, terutama pada seribu hari pertama kehidupannya (dari masa janin sampai 2 tahun pertama).
Seribu hari pertama kehidupan sangat memengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak ke depannya. Stunting atau pendek pada balita menyebabkan kerusakan yang berlangsung seumur hidup. Kerusakan yang terjadi disebabkan karena seorang anak tidak mendapatkan berbagai gizi penting untuk pertumbuhan, sistem kekebalan tubuh yang kuat serta pertumbuhan otak yang optimal.
Ahli Gizi, dr. Erica Lidya Yanti mengatakan, secara global stunting berkontribusi terhadap 15-17 persen dari seluruh kematian anak. “Walaupun mereka selamat, mereka kurang berprestasi di sekolah sehingga menjadi kurang produktif saat dewasa. Hal tersebut akan menjadikan mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga mereka akan terus berada dalam kemiskinan. Stunting dapat menurunkan penghasilan seumur hidup sebanyak 20 persen,” jelasnya.
Beban stunting yang sangat besar di Indonesia merupakan masalah serius. Ini berarti bahwa negara memiliki jutaan anak kurang gizi yang kurang dapat berprestasi di sekolah, kurang mampu mendapatkan cukup penghasilan saat dewasa dan berkontribusi bagi ekonomi bangsa. Oleh sebab itu, stunting menjadi salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Indonesia.
Menurut data WHO, kasus stunting di Indonesia semakin meningkat. Pada 2013 lalu, persentasenya mencapai 37,2 persen. Gejala yang diperlihatkan berupa gejala jangka pendek (pada masa anak-anak) dan jangka panjang (saat dewasa). Gejala stunting jangka pendek meliputi hambatan perkembangan, penurunan fungsi kekebalan, penurunan fungsi kognitif, dan gangguan sistem pembakaran. Sedangkan gejala jangka panjang meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis.
Bisakah dicegah? Bisa. dr. Erica Lidya Yanti mengungkapkan, penelitian menunjukkan bahwa konsumsi protein berpengaruh pada pertambahan tinggi dan berat badan anak di atas 6 bulan. Anak yang mendapat protein 15 persen dari total asupan kalori ternyata memiliki badan yang lebih tinggi dibandingkan anak yang hanya mendapat protein 7,5 persen dari total asupan kalori.
“Sumber protein bisa diperoleh dari nabati seperti kacang-kacangan, umbi-umbian, biji-bijian, dan sayuran. Sementara hewani berupa daging sapi, ayam, ikan, telur, dan susu,” papar Lidya.
Anak usia 6 sampai 12 bulan dianjurkan mengonsumsi protein harian sebanyak 1,2 g/kg berat badan. Sementara anak usia 1–3 tahun membutuhkan protein harian sebesar 1,05 g/kg berat badan. “Jadi, pastikan si kecil mendapat asupan protein yang cukup sejak ia pertama kali mencicipi makanan padat pertamanya,” ujarnya. (dar).