Implementasi MBG 3B Menuju Indonesia Emas 2045

IMG-20250928-WA0009
(ilustrasi)-Kepala Perwakilan BKKBN Bali dr. Luh Gede Sukardiasih, mengunjungi balita.

DENPASAR-fajarbali.com | Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang difokuskan pada ibu hamil, ibu menyusui, dan balita non-PAUD bukan hanya sekedar transfer pangan; akan tetapi bertujuan untuk memperbaiki kondisi gizi pada fase paling kritis dalam kehidupan, sehingga memberikan imbas jangka panjang pada kualitas sumber daya manusia (SDM). 

Intervensi gizi yang tepat di masa kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan (1.000 Hari Pertama Kehidupan) diketahui dari banyak literatur memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak—yang akhirnya berdampak pada kemampuan belajar, pencapaian pendidikan, dan produktivitas ekonomi saat dewasa. 

Maka, program MBG dengan sasaran 3B menjadi sebuah investasi pembangunan manusia, bukan hanya soal pengeluaran sosial. 

Stunting dan Tren Terbaru

Masalah kekurangan gizi pada balita masih menjadi tantangan besar. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Dampaknya tidak bisa dianggap sepele: mulai dari pertumbuhan yang terhambat, perkembangan otak yang kurang optimal, hingga berkurangnya produktivitas saat dewasa nanti. 

Semua itu bakal berujung pada kerugian besar. Bukan hanya bagi individu dan keluarga, tetapi juga bagi bangsa secara keseluruhan.

Salah satu bentuk kekurangan gizi kronis yang paling sering ditemui adalah stunting, yaitu kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kurang gizi dalam jangka panjang.

Di Indonesia, prevalensi stunting memang menurun dari 37,6% pada 2013 menjadi 19,8% pada 2024 (SSGI 2024). Angka ini menunjukkan adanya kemajuan, tetapi juga mengingatkan kita bahwa hampir 1 dari 5 anak Indonesia masih berisiko stunting.

Stunting bukan hanya soal kurangnya tinggi badan. Namun anak pendek bukan berarti stunting. Yang pasti, anak stunting berisiko mengalami gangguan kognitif, kesulitan belajar, hingga lebih rentan terhadap penyakit di masa dewasa.

Termasuk diabetes, gangguan jantung dan penyakit degeneratif lainnya. Artinya, stunting adalah masalah jangka panjang yang akan memengaruhi kualitas generasi penerus bangsa. 

BACA JUGA:  Gerak Cepat Kodam IX/Udayana Atasi Bencana Gempa di Bangli dan Karangasem

Stunting bisa bermula sejak bayi dalam kandungan. Status gizi ibu, usia kehamilan, hingga berat badan bayi saat lahir menjadi penentu awal. Setelah lahir, risiko stunting semakin tinggi bila anak sering sakit, misalnya diare atau ISPA yang berulang.

Menurunkan angka stunting bukan pekerjaan instan, akan tetapi membutuhkan komitmen bersama, kerja lintas sektor, dan keberlanjutan program. Mulai dari menyediakan makanan bergizi bagi ibu hamil, memastikan bayi mendapat ASI eksklusif, memperbaiki sanitasi lingkungan, hingga memberikan edukasi gizi kepada keluarga.

1.000 HPK, Titik Intervensi Paling Efektif

Periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)—sejak janin terbentuk hingga anak berusia dua tahun—adalah fase emas yang menentukan masa depan.

Pada masa ini, otak berkembang pesat dan tubuh membangun fondasi penting bagi kesehatan seumur hidup. Kekurangan nutrisi dalam fase ini dapat menyebabkan stunting, sehingga intervensi gizi sejak dini menjadi sangat krusial.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai strategi penting untuk memastikan ibu hamil, bayi, dan balita memperoleh cukup gizi seimbang.

Dengan dukungan asupan makro dan mikronutrien, risiko bayi lahir dengan masalah gizi dapat ditekan, sementara anak-anak yang sedang tumbuh memiliki peluang lebih besar berkembang sehat, cerdas, dan produktif. 

Bukti ilmiah dari WHO dan UNICEF menegaskan bahwa investasi gizi pada 1.000 HPK memberikan manfaat jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia.

Dengan memperkuat gizi pada masa paling kritis ini, Indonesia sedang menyiapkan generasi yang lebih kuat untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Peran MBG Sasaran 3B

Praktik konkret dari program MBG dengan sasaran 3B bisa berupa pemberian paket makanan yang kaya protein (misalnya susu, daging, ikan, kacang-kacangan), zat besi, dan mikronutrien lain seperti vitamin A dan yodium. 

BACA JUGA:  Kemendukbangga/BKKBN Perkuat Kampung KB di Bangli, Dukung Realisasi "Quick Wins"

Selain itu, MBG bisa meliputi suplementasi khusus—misalnya tablet zat besi + asam folat untuk ibu hamil (sesuai rekomendasi harian 30–60 mg zat besi elemental + 400 μg asam folat) —sebagai upaya mencegah anemia dan mendukung pertumbuhan janin. 

Disamping itu, edukasi gizi kepada keluarga sangat penting. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian edukasi gizi pada ibu hamil meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik diet yang lebih baik. 

Bagi ibu menyusui, dukungan gizi yang memadai mempengaruhi kualitas dan konsentrasi mikronutrien dalam ASI—misalnya status vitamin A & karotenoid ibu berhubungan erat dengan kandungannya di ASI. Dengan demikian, MBG dapat memperkuat kualitas ASI, mendukung tumbuh kembang bayi secara optimal. 

Untuk balita non-PAUD (balita yang belum masuk PAUD), kelompok ini sering lebih rentan terhadap kekurangan gizi karena mereka tidak terjangkau program pendidikan gizi atau layanan tambahan. MBG dapat mengurangi kesenjangan akses gizi dan membantu memastikan bahwa balita di luar jalur formal tetap mendapatkan asupan nutrisi yang memadai. 

Dengan intervensi ini, kelompok-kunci tidak “tertinggal” dalam perjalanan menuju generasi dengan sumber daya manusia unggul menjelang Indonesia Emas 2045.

Catatan Kritis: Implementasi, Keamanan Pangan, dan Monitoring 

Agar MBG benar-benar menjadi investasi, pelaksanaannya harus aman dan berkualitas: standar gizi menu, keamanan pangan, rantai pasok yang andal, serta monitoring hasil (outcome gizi dan kesehatan). 

Pengalaman program pemberian makanan berskala besar di Indonesia baru-baru ini menyoroti pentingnya pengawasan kualitas — masalah keamanan pangan dapat merusak kepercayaan dan hasil program jika tidak ditangani. 

Oleh sebab itu, desain MBG harus memasukkan SOP keamanan pangan, pelibatan komunitas, dan sistem pelaporan real-time.

Menjamin akses gizi bagi ibu hamil, menyusui, dan balita non-PAUD adalah langkah strategis: investasi kecil hari ini yang mencegah kerugian produktivitas besar di masa depan. Ketika kebijakan gizi dini didesain baik—terintegrasi, diawasi, dan ditujukan pada 1.000 HPK—Indonesia sedang memperkuat fondasi SDM yang sehat, cerdas, dan produktif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.*

BACA JUGA:  HUT ke-5, DPC Dulang Mangap Gelar Baksos Serentak

Penulis: Ni Made Ari Listiani, SS, M.Hum (Perencana Ahli Madya/Ketua Tim Kerja Humas dan Informasi Publik Perwakilan BKKBN Provinsi Bali)

 

 

Scroll to Top