Antara Pilihan Pribadi dan Tanggung Jawab Sosial: Childfree, TFR, dan Masa Depan Bali

IMG-20250807-WA0021
(ilustrasi)-Keluarga di Bali.

Loading

DENPASAR-fajarbali.com | DULU pepatah "banyak anak, banyak rejeki" adalah kalimat sakti yang diwariskan turun-temurun. Di banyak keluarga Indonesia, punya lima anak dianggap biasa, bahkan membanggakan.

Semakin banyak anak, katanya, semakin besar peluang datangnya rejeki: ada yang bantu di sawah, ada yang rawat orang tua, bahkan bisa jadi ‘investasi masa depan’.

Tapi kini, generasi muda punya narasi baru: "Satu anak pun harus dipikirkan matang, apalagi lima!" Atau bahkan,"Childfree juga pilihan, kok."

Fenomena childfree, alias keputusan sadar untuk tidak memiliki anak, perlahan mulai menggeser anggapan lama tentang makna keluarga dan keberuntungan. Di media sosial, banyak anak muda yang membagikan kisah mereka memilih childfree dengan alasan yang beragam: karier, keuangan, lingkungan, hingga kesehatan mental.

Sebuah survei oleh Katadata Insight Center (2022) mengungkap bahwa sekitar 13% responden berusia 20–35 tahun di Indonesia menyatakan keinginan untuk tidak memiliki anak. Alasan utama mereka adalah: ketidakpastian ekonomi dan ketakutan terhadap biaya hidup dan pendidikan anak.

Tekanan pekerjaan yang tinggi dan ketidakseimbangan work-life.

Alasan berikutnya, kekhawatiran terhadap kondisi lingkungan hidup dan masa depan planet, trauma masa kecil atau ketakutan akan kegagalan dalam membesarkan anak, keinginan untuk hidup bebas dan berfokus pada pencapaian pribadi.

Tanggal 1 Agustus 2025 pekan ini diperingati sebagai Hari Childfree Internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah childfree mulai ramai diperbincangkan.

Tak hanya di dunia maya tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat urban, termasuk di Bali. Pilihan untuk tidak memiliki anak, yang dulunya dianggap tabu, kini mulai diterima sebagai keputusan personal yang sah. 

Namun, di tengah meningkatnya kesadaran akan hak reproduksi dan kebebasan individu, muncul pertanyaan besar: bagaimana dampaknya terhadap keberlangsungan budaya dan demografi Indonesia khususnya Bali?

Fenomena Childfree Global dan Nasional: Pergeseran Nilai dalam Dinamika Sosial dan Demografi

Fenomena childfree—keputusan sadar individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak—kian mendapat perhatian di Indonesia. Pilihan ini muncul sebagai refleksi perubahan pola pikir masyarakat modern, seiring meningkatnya kesadaran terhadap faktor sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan (Audinovic & Nugroho, 2023; Lubis & Izzah, 2022).

Fenomena Childfree berimplikasi pada Total Fertility Rate (TFR) suatu masyarakat, bahkan negara. Hal ini sudah terjadi di negara-negara maju dengan tingkat pendidikan tinggi dan urbanisasi yang masif, seperti Jepang dan Korea Selatan.

Di Jepang, misalnya, selama beberapa dekade terakhir, Jepang telah mengalami penurunan yang signifikan dalam angka kelahiran. Angka kelahiran tahun 2023 mencapai rekor terendah sepanjang sejarah negara tersebut, dengan hanya 1,2 anak per wanita, jauh di bawah tingkat yang diperlukan untuk mempertahankan populasi. 

Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan Singapura. Sedangkan Korea Selatan mencetak rekor terendah global dengan angka kelahiran hanya 0,75 anak per wanita pada tahun 2023.

BACA JUGA:  Karantina Berakhir PMI Denpasar Sumbang APD

Pemerintah Korea bahkan menggulirkan berbagai insentif finansial bagi keluarga muda untuk membalik tren ini. Namun hasilnya masih minim karena pergeseran nilai di masyarakat urban tak mudah dibalik. 

Lantas, bagaimana dengan Indonesia ?

Data Laporan Kependudukan Indonesia dari BKKBN (2024) menunjukkan tren penurunan Total Fertility Rate (TRF) - rata-rata jumlah anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita selama masa suburnya (biasanya antara usia 15 hingga 49 tahun) : dari 2.41 pada Sensus Penduduk 2010 menjadi 2.18 pada data LongForm SP 2020. 

Sedangkan dari hasil Pendataan Keluarga tahun 2021, TFR Indonesia berapa pada angka 2.24, dan menurun menjadi 2.14 pada hasil Pendataan Keluarga 2023. 

Pada 2014 atau dua tahun setelah Indonesia memasuki masa bonus demografi, jumlah perkawinan di Indonesia masih mencapai 2,11 juta.

Namun, pada 2024 atau dua tahun setelah puncak bonus demografi tercapai pada 2021-2022, jumlah perkawinan justru anjlok 30 persen menjadi 1,48 juta. Kedua tren ini menunjukkan perubahan dalam preferensi keluarga dan gaya hidup generasi muda. 

Alasan memilih childfree beragam: tingginya biaya membesarkan anak (mencapai ratusan juta hingga usia 18 tahun), trauma masa lalu, keinginan hidup bebas dan mandiri, hingga kekhawatiran terhadap masa depan lingkungan dan kualitas hidup (Itsnan, 2023). 

Masyarakat kini makin terbuka terhadap pandangan bahwa tidak memiliki anak adalah pilihan hidup yang sah dan bertanggung jawab.

Sebuah penelitian berjudul “Childfree di Indonesia: Fenomena atau Viral Sesaat?” mengkaji faktor penyebab, perubahan pola pikir keluarga, persepsi feminis, dan dampak jangka panjang tren childfree terhadap struktur sosial dan demografi Indonesia (Syntax Idea, 2024). 

Studi ini menggunakan metode kualitatif studi kasus, dengan wawancara terhadap aktivis feminis sebagai sampel utama, serta pengumpulan data melalui dokumentasi dan coding.

Penelitian ini menekankan pentingnya validitas data, menggunakan strategi triangulasi dan deskripsi kaya untuk memahami childfree secara menyeluruh dari sudut pandang sosial dan kultural.

Kesimpulannya, fenomena childfree bukan sekadar tren viral sesaat, melainkan refleksi dari pergeseran sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Tantangannya ke depan adalah menciptakan ruang diskusi yang inklusif agar pilihan ini bisa dihargai, sekaligus mempertimbangkan dampaknya terhadap masa depan demografi bangsa. 

Childfree di Persimpangan Bali: Antara Hak Individu dan Menjaga Warisan Budaya Leluhur

Meskipun Indonesia dikenal memiliki budaya keluarga yang kuat dan tingkat religiusitas tinggi, namun fenomena childfree mulai mencuat, terutama di kalangan generasi milenial (1981–1996) dan Gen Z (1997–2012) yang tinggal di perkotaan, berpendidikan tinggi, serta lebih terbuka terhadap nilai-nilai baru.

BACA JUGA:  Perdana di Bali, Nonton Bareng Miss Universe Bersama Desainer Lenny Hartono

Fenomena ini makin menguat melalui media sosial, di mana narasi “bebas dari tuntutan sosial” dan “self-actualization” lebih mendapat ruang. Influencer, selebriti, bahkan sejumlah tokoh publik ikut menyuarakan pengalaman mereka memilih tidak punya anak.

Tren TFR di Provinsi Bali juga sejalan dengan tren nasional. Berdasarkan data SP2010 adalah 2.13, dan mengalami penurunan signifikan dari data LFSP 2020 menjadi 2.04. Sedangkan data PK 21, TFR Bali sebesar 2.32, dan PK24 sebesar 2.03. Angka ini berada di bawah angka pengganti generasi (replacement level) yang secara global ditetapkan di angka 2,1. 

Angka ini menunjukkan bahwa, secara rata-rata, setiap perempuan di Bali hanya memiliki sekitar dua anak sepanjang hidupnya. Dengan angka TFR yang sudah berada pada ambang batas pengganti generasi, Bali memasuki fase demografi yang perlu dicermati dengan serius. 

Jika tren ini terus menurun, dikhawatirkan akan terjadi penurunan jumlah penduduk usia produktif di masa depan, yang pada gilirannya dapat memengaruhi struktur sosial, keberlanjutan adat, serta ketahanan ekonomi dan budaya daerah.

Pilihan childfree adalah hak setiap individu, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ada dampak jangka panjang terhadap regenerasi masyarakat, terutama di daerah seperti Bali yang memiliki struktur sosial dan adat yang kuat.

Sebagai daerah dengan sistem sosial yang patrilineal, Bali menempatkan anak – terutama anak laki-laki – dalam posisi yang sangat penting dalam menjaga kesinambungan keluarga, adat, dan spiritualitas. 

Dalam struktur keluarga Bali, anak laki-laki tidak hanya menjadi penerus garis keturunan dan waris, tetapi juga memiliki tanggung jawab sakral untuk memelihara sanggah atau merajan (tempat suci keluarga), melaksanakan upacara keagamaan, dan menjalankan peran adat dalam sistem banjar dan desa pekraman.

Namun, fenomena modern seperti tren childfree, urbanisasi, dan migrasi permanen anak-anak muda dari desa ke kota atau ke luar Bali menjadi tantangan tersendiri terhadap struktur tersebut. 

Statistik Migrasi Provinsi Bali Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 menyatakan bahwa angka perbandingan migrasi masuk dan migrasi keluar penduduk Bali mencapai - 6.481, dimana migrasi masuk sebanyak 681.224 orang dan migrasi keluar sebanyak 687.705 orang. 

Data ini menunjukan bahwa keinginan penduduk Bali untuk merantau masih cukup tinggi. Tak sedikit generasi muda yang memilih untuk menunda pernikahan, tidak memiliki anak, atau bahkan tidak kembali ke desa asal, baik karena alasan ekonomi, pendidikan, maupun gaya hidup.

Kaum muda usia produktif ke pusat-pusat ekonomi seperti Denpasar, Badung, dan luar provinsi juga cenderung meningkat setiap tahunnya.

Dalam konteks ini, desa-desa adat di wilayah pegunungan dan pedesaan mulai kehilangan populasi mudanya, yang selama ini menjadi tulang punggung dalam menjalankan adat dan ritual budaya.

BACA JUGA:  Terkait Postingan di Medsos, Ipung Dilaporkan ke Polda Bali

Tantangan ini tidak hanya menyangkut soal berkurangnya jumlah penduduk, tetapi juga menyentuh inti dari identitas Bali itu sendiri, yaitu kesinambungan adat dan spiritualitas yang diwariskan lintas generasi.

Lebih lanjut, tren childfree, jika berkembang tanpa edukasi konteks budaya lokal, dikhawatirkan bisa mempercepat terputusnya mata rantai sosial dan adat. Meski merupakan hak pribadi yang dilindungi, pilihan untuk tidak memiliki anak dalam konteks masyarakat adat Bali berdampak jauh lebih besar dari sekadar urusan domestik – tapi pada akhirnya dapat menyentuh keberlangsungan populasi dan budaya Bali.

Oleh karena itu, program-program seperti KB Bali mencoba menjadi jembatan antara realitas modern dan pelestarian nilai adat. Salah satu pendekatannya adalah edukasi reproduksi berbasis budaya lokal, pelibatan tokoh adat dan pemuka agama dalam penyuluhan keluarga, serta kampanye tentang pentingnya regenerasi yang seimbang antara kualitas dan keberlanjutan struktur sosial. 

Di lain pihak, edukasi tentang perencanaan keluarga dan keluarga berkualitas juga tetap harus digaungkan kepada generasi muda Bali. 

Kedua pendekatan ini akan berjalan beriringan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara personal, tetapi juga sadar akan tanggung jawab pelestarian budaya. Dengan begitu, keputusan apapun—memilih memiliki anak atau tidak—dilandasi pemahaman yang utuh: bahwa di balik setiap pilihan individu, ada ekosistem sosial dan warisan leluhur yang perlu dijaga bersama.

Bukan Tren Tapi Cermin Perubahan Zaman

Fenomena childfree di Bali bukan sekadar tren, tapi cermin dari perubahan zaman. Di satu sisi, fenomena ini merepresentasikan kebebasan individu; di sisi lain, hal ini menggugah kesadaran akan pentingnya keberlanjutan sosial dan budaya. 

Fenomena childfree bukan sekadar pilihan personal—namun kini menjadi cermin tantangan kolektif. Maka, menjaga keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial adalah kunci. Bali butuh pendekatan baru yang adaptif, yang bukan sekadar soal jumlah anak, tapi soal pelestarian identitas dan keberlanjutan budaya.

Karena pada akhirnya, pilihan untuk tidak memiliki anak tak boleh melupakan satu hal: bahwa warisan tak hanya soal darah, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga yang dititipkan oleh generasi sebelumnya untuk tetap hidup, ajeg, dan relevan di masa depan - Adat dan Budaya -. 

Bali bukan sekadar pulau wisata. Ia adalah jiwa yang hidup dalam denting genta, indahnya melodi gamelan, harum dupa di pagi hari, dan barisan anak-anak muda yang membawa canang ke pura. 

Adat dan budaya Bali bukan tontonan tapi napas kehidupan. 

Lantas, apakah kita tega menghentikan nafas kehidupan kita sendiri?*

Penulis: Arie Listiani. 

Scroll to Top