Anggota MPR RI Mangku Pastika Ingatkan Bahaya Politik Identitas

Konsensus 4 pilar

Sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan “Peran Pemilih Milenial dalam Mengawal Empat Konsensus Bangsa Demi Tegaknya Pemilu Serentak 2024 yang Bebas Politik Identitas”, Selasa (21/2) di Denpasar.

 

DENPASAR – sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Anggota DPD/MPR RI Made Mangku Pastika, menggelar Sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan “Peran Pemilih Milenial dalam Mengawal Empat Konsensus Bangsa Demi Tegaknya Pemilu Serentak 2024 yang Bebas Politik Identitas”, Selasa (21/2) di Denpasar.

Sosialisasi yang dihadiri mahasiswa dan generasi muda dari kalangan umum itu, bertujuan mengajak masyarakat, khususnya pemilih pemula untuk melek politik dan menyikapi perkembangan bangsa terkini.

Gubernur Bali (2008-2018) itu menyebut, Pemilu 2024 nanti merupakan kunci penting arah bangsa dan negara ini. Jika politik identitas mendominasi, maka menurut dia, bisa mengkhawatirkan.

"Jangan kita terpecah karena beda identitas. Identitas politik tak masalah, tapi politik identitas yang perlu diwaspadai dan jangan sampai terjadi,” ungkap Mangku Pastika, didampingi nara sumber lain, yakni Prof. Dr. Gde Yusha, MH., dan Dr. Gede Suardana, M.Si.

Mangku Pastika mengungkapkan, empat konsensus bangsa adalah fondasi, sehingga apabila empat konsensus tiada maka negara bisa berantakan.

Diingatkan dengan jumlah yang besar serta rasional dalam melakukan perubahan, milenial sangat menentukan nasib bangsa ini ke depan.

“Untuk itu saya mendorong agar milenial tidak apatis dan bisa memilih pemimpin secara rasional dan cerdas. Jangan terjebak dengan dogma-dogma yang tak jelas,” pintanya. 

Mengawali paparannya, Mangku Pastika menceritakan sejarah bangsa ini mulai era Bung Karno, Pak Harto hingga Reformasi 98 dan sekarang ini. Menurutnya kalau mau bersatu, maka Pancasila harus tetap ada. Tapi kalau politik identitas itu terjadi, maka bangsa ini bisa terpecah belah.

Di sisi lain, ia memaparkan kelebihan Bali dengan agama, adat, budaya dan tradisi yang sudah menyatu. Karena itu menjadi Gubernur Bali bukan hanya urus pemerintahan, tapi juga adat, budaya dan agama. "Misalnya pas upacara di Besakih itu, gubernur harus hadir," kenangnya.

BACA JUGA:  Mangku Pastika: Pertahanan Koperasi sebagai Sokoguru Ekonomi Rakyat

Sosialisasi berlangsung dialogis dengan munculnya berbagai pertanyaan dan pernyataan dari kalangan mahasiswa di antaranya soal penegakan hukum, keadilan, hingga terorisme.

Khusus terorisme, Mangku Pastika yang berpengalaman mengungkap tabir Bom Bali I saat aktif di Kepolisian ini menegaskan, siapa pun bisa menjadi teroris di era kemajuan teknologi ini.

"Buat bom itu gampang. Bahannya mudah. Air biasa sebotol kecil, tepung terigu, merica, batrai dan dua campuran kimia lain. Jadi itu bom. Bisa dicari di internet," tegasnya.

Ia tidak bermaksud mengajarkan cara membuat bom atau menginspirasi menjadi teroris, namun mengajak orangtua mengendalikan anak-anak di era keterbukaan informasi ini. Agar dogma-dogma negatif tidak meracuni pikirannya.

Sementara Prof. Gde Yusha, S.H.,M.H. memaparkan materi bertema “Tantangan Generasi Milenial dalam Menjawab Penegakan Hukum Sejalan Empat Konsensus Bangsa Menyongsong Pemilu Serentak 2024” dan Dr. Gede Suardana tema “Partisipasi Generasi Muda, Pemilu dan Masa Depan NKRI”. Sosialisasi dihadiri puluhan peserta mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi

"Kita tidak sepakat dengan politik identitas mengingat dalam pemilu kita memilih pemimpin bangsa, bukan pemimpin agama,” kata Gde Yusha.

Terkait tantangan generasi milenial ke depan menurut Yusha sebagai warga negara mestinya mau menjalankan kewajiban dan hak, taat pada hukum, ikut dalam kegiatan bela negara, mengisi diri dengan hal positif, menjunjung tinggi 4 konsensus nasional, HAM serta mengembangkan demokrasi.

Sementara soal penegakan hukum yang masih dirasakan sebagian warga kurang adil, menurutnya akibat lemahnya integritas penegakan hukum, tidak adanya pengawasan yang efektif (peran masyarakat/pemuda), Peraturan Perundang-undangan masih belum memihak rakyat,

mentalitas praktisi hukum yang lemah, struktur hukum yang overlapping kewenangan, dan independensi hakim.

Sedangkan Gede Suardana, mengatakan, mengkritisi pemerintah tak masalah terutama kebijakannya yang tidak pro rakyat. Perbedaan itu boleh sepanjang untuk kemajuan bangsa dan negara. Kepentingan negara yang utama. Ia mendorong milenial berpolitik.

BACA JUGA:  KPU Bali Siapkan Langkah Antisipasi Adanya Korban Di Pemilu 2024

Sosialisasi dipandu Tim Ahli DPD RI Nyoman Wiratmaja didampingi Ketut Ngastawa dan Nyoman Baskara. (Gde)

Scroll to Top