Catatan Kritis untuk Program “Satu Keluarga Satu Sarjana”

IMG-20250609-WA0000
Gubernur Bali Wayan Koster berdiskusi dengan 26 Pimpinan/Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Bali, belum lama ini. 

Loading

DENPASAR-fajarbali.com | Program “Satu Keluarga Satu Sarjana” yang resmi diluncurkan Pemerintah Provinsi Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Wayan Koster merupakan langkah monumental dalam ikhtiar membangun sumber daya manusia unggul, khususnya di kalangan keluarga kurang mampu.

Dengan dukungan dari 26 perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) se-Bali, serta fasilitas pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD Semesta Berencana 2025, program ini hadir sebagai harapan baru untuk pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Namun, di balik euforia peluncurannya, sejumlah catatan kritis perlu dikedepankan agar program ini tak berhenti sebagai kebijakan populis, melainkan betul-betul transformatif dan berkelanjutan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa intervensi afirmatif dalam dunia pendidikan memang mendesak, apalagi di tengah ketimpangan akses pendidikan tinggi. 

Namun program seperti ini menuntut sistem evaluasi kinerja yang ketat—bukan hanya pada mahasiswa penerima, tapi juga pada institusi penyelenggara. 

Tanpa indikator keberhasilan yang jelas dan pengawasan periodik, upaya pemutusan kemiskinan struktural bisa berakhir menjadi statistik semu.

Skema bantuan hidup sebesar Rp 1.400.000 per mahasiswa per bulan tentu menjadi insentif yang signifikan. Namun pertanyaan mendasar muncul: seberapa siap APBD Bali menanggung beban fiskal ini dalam jangka panjang, terutama jika program diperluas cakupannya? 

Belum lagi risiko ketergantungan anggaran jika tidak dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi mahasiswa dan keluarga pasca-kelulusan.

Program Satu Keluarga Satu Sarjana yang digagas Gubernur Koster sejalan secara prinsip dengan Permendikbudristek No. 48 Tahun 2022, yakni memberikan akses afirmatif bagi keluarga kurang mampu. 

Namun, tanpa koordinasi dan sinkronisasi antara program daerah dan kewajiban nasional PTN, terjadi potensi tumpang tindih atau ketidakseimbangan kuota afirmasi. 

Untuk itu, penting memastikan bahwa program afirmatif daerah seperti ini tidak hanya fokus pada akses masuk, tetapi juga jaminan keberlanjutan studi dan distribusi prodi yang adil.

BACA JUGA:  Smester I 2024, Balai Bahasa Bali Catat Kinerja Positif

Klaim bahwa program ini akan menjamin “generasi unggul Bali” perlu dibaca dengan hati-hati. Dalam konteks pasar kerja yang semakin kompetitif dan disruptif, gelar sarjana tak lagi menjadi jaminan kesejahteraan. 

Maka, keberhasilan program ini sejatinya terletak bukan pada jumlah lulusan, tetapi pada sejauh mana mereka bisa terserap ke dunia kerja atau menjadi pelaku ekonomi yang mandiri. 

Sebagai catatan Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 naik sekitar 83 ribu orang atau 1,11 persen dibandingkan Februari 2024.

Potensi ketimpangan baru antar wilayah dan jenjang. Dengan fokus pada sarjana sebagai target utama, program ini berpotensi mengabaikan potensi pendidikan vokasional atau jalur teknis lainnya yang justru lebih relevan dengan kebutuhan industri lokal Bali.

Apakah program ini juga membuka peluang bagi lulusan D2, D3, atau sertifikasi keahlian lain yang lebih terjangkau dan aplikatif?

Penulis: Dr. AAN Eddy S. Gorda (Ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional Denpasar).

Scroll to Top