Seminar Pemantauan Perlindungan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) bagi Masyarakat Rentan, di Kampus UNR, Sabtu (7/12/2024).
DENPASAR-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | LSM Bali Sruti bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) Universitas Ngurah Rai (UNR), KAPAL Perempuan, Sekolah Perempuan Srikandi, Sekolah Perempuan Kartini, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) DPD Bali, dan berbagai komponen perempuan, berkesempatan menggelar “Seminar Pemantauan Perlindungan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) bagi Masyarakat Rentan” di Kampus UNR, Sabtu (7/12/2024).
Seminar tersebut mendatangkan Kepala Dinas Sosial Kota Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati Sosialisasi sebagai narasumber didampingi Dr. Gede Wirata, S.Sos., SH., MAP, narasumber dari akademisi.
Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., Ketua LSM Bali Sruti, menjelaskan, seminar ini bertujuan membuka wawasan semua peserta, terlebih yang tergolong kelompok rentan untuk mengetahui secara detail apa yang dimaksud PKH, siapa saja yang berhak mendapatkannya, dan implementasinya di lapangan.
“Intinya para peserta yang didominasi kaum perempuan ini, mendapatkan wawasan baru terkait PKH,” jelas Riniti. Juga untuk merancang program kerja organisasi tahun depan.
Yang terpenting, menurut Riniti, hasil dari seminar ini bisa dijadikan aspirasi dalam Munas Perempuan 2025 untuk selanjutnya dijadikan acuan bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan.
Dekan FISHUM UNR Dr. Drs. I Wayan Astawa, SH., MAP., menyebut, kerja sama dengan Bali Sruti sudah berjalan beberapa tahun. Kedua pihak telah melakukan banyak kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Seminar kali ini, kata Astawa, merupakan tindak lanjut pertemuan sebelumnya untuk menyamakan persepsi berkaitan dengan implementasi PKH. Ia menilai, PKH yang didasari Permensos 1 tahun 2018 ini mimiliki tujuan yang sangat bagus.
“Tujuannya adalah memberikan bantuan kepada keluarga miskin dan rentan secara finansial agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pendidikan, dan layanan kesehatan,” ujarnya.
Hanya saja, dalam tataran implementasinya kerap ditemui masalah akibat ketidak-sinkronan data. Sehingga yang seharusnya berhak, tidak mendapatkan, begitu pula sebaliknya. Melalui seminar ini, pihkanya berharap tahun 2025 apalagi dengan pemerintahan baru, implementasi PKH berjalan sesuai harapan bersama.
Kadis Sosial Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati, menyambut baik kerja sama organisasi perempuan dengan institusi perguruan tinggi, apalagi Dinas Sosial Kota Denpasar juga telah menjalin kerja sama dengan Universitas Ngurah Rai.
Ia menyebut, kerja sama perguruan tinggi dengan organisasi masyarakat/perempuan mampu melahirkan kesejahteraan karena mengedepankan program pemberdayaan.
Di Denpasar sendiri, ia mengaku memiliki berbagai program, misalnya sekolah keluarga harapan, pojok kebaikan, grebeg asessmen dan sebagainya. Intinya, ia meminta kepada masyarakat yang merasa masuk kriteria PPKS agar melaporkan diri ke Kantor Desa/Kelurahan.
PPKS adalah Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga memerlukan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani dan rohani maupun sosial jasmani.
Dinas Sosial Kota Denpasar, menjadikan seminar kali ini sebagai momentum sinkronisasi serta penyelarasan pemahaman bersama untuk perbaikan selanjutnya karena data terus bergerak seiring perkembangan dinamika kependudukan.
Sementara itu, Gede Wirata mengungkapkan, PKH yang diperuntukkan untuk kesehatan dan pendidikan ini masih menemui kendala di tataran implementasinya. Salah satu penyebab acuan data yang tidak aktual. Data, menurutnya adalah kunci penting dalam hal penyaluran bantuan sosial.
“Jangan sampai bantuan tahun ini memakai data tahun 2015 misalnya. Itu kan sangat jauh. Data harus di-update berkala,” kata Wirata mengimbau.
Selain itu, ia menilai masih terjadi saling lempar tanggung jawab antara pemerintah tingkat terbawah (desa) dengan dinas sosial, terkait data. Misalnya, dari pemerintah desa menyebut data sudah diterima seperti itu, sehingga pihak desa tidak berani mengubah sesuai kondisi riil di lapangan.
Sementara dari atas (dinas) menyebut data yang diterima justru berasal dari bawah (desa) yang dianggap mengetahui persis kondisi riil masyarakatnya. “Saya kira di tataran ini perlu penyamaan persepsi. Sangat penting. Jangan sampai saling lempar tanggung jawab,” tegasnya.