Banyak politisi di Bali terutama diluar PDI Perjuangan (PDIP) yang ngotot untuk membentuk koalisi bersama, dengan harapan muncul hanya dua pasang calon alias head to head. Mereka berpikir bahwa dengan head to head maka akan lebih mudah untuk mengalahkan calon yang diusung oleh PDIP yang notabene sebagai partai terbesar di Bali.
DENPASAR-fajarbali.com | Namun analisis berbeda diutarakan oleh politisi muda Bali Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III yang justru berpendapat sebaliknya.
“Minggu lalu saya sudah bersuara bahwa ada potensi pecah kongsi di Pilgub 2018 pasca turunnya rekomendasi partai besar ini. Tapi mengaca pada pengalaman di beberapa daerah, jika PDIP yang dikenal memiliki kader militan ini berhadapan dengan situasi yang terdesak, semisal jika muncul hanya satu calon dari pihak lawan lewat sebuah koalisi besar, justru kader-kader PDIP akan semakin solid dan kuat,” katanya.
Menurutnya, tidak boleh dilupakan bahwa PDIP memiliki mesin partai terkuat di Bali dan juga menguasai 7 kabupaten dan kota. Walau ada potensi PDIP kurang suara saat Pilgub 2018 di Karangasem, Denpasar dan Klungkung, hal tersebut katanya, karena dikuasai partai lain dan faktor X, tetapi secara umum PDIP masih punya tanduk di Bali. Jadi, katanya lagi, pihak lawan dalam hal ini parpol diluar PDIP harus cerdas mempelajari psikologi politik rakyat di Bali pada Pilgub 2018.
“Justru saya malah berpikir sebaliknya yakni PDIP bisa mengalami kekalahan seperti di Pilgub 2013, jika yang muncul justru jika ada 3 pasang calon atau lebih. Logikanya head to head membutuhkan suara mayoritas antara 40- 51% untuk menang, tapi jika ada 3 calon misalnya, agak lebih mudah menang bagi incumbent atau penantang baru (new comer) karena hanya butuh 33 %. Saya rasa hal ini penting untuk diperhitungkan oleh koalisi partai,” ungkap Gusti Wedakarna. Ia pun berharap agar Pilgub Bali 2018 bisa memunculkan figur alternatif yang bisa menjadi pilihan dari masyarakat.
Dalam fasum politik, katanya, sangat pantang hukumnya memilih kandidat pemimpin yang punya jejak rekam penghianat partai, karena yang dijual dalam konstelasi pilgub adalah jejak rekam dan trust (kepercayaan). Menurutnya percuma jika ada calon yang tampak santun, tapi di mata parpol sudah cacat akibat pengkhianatan, tentu akan beresiko jika untuk diusung, baik untuk 2018 atau 2019.
“Jadi pesan saya, partai politik di Bali jangan sesekali merekrut penghianat partai, karena elektabilitasnya akan tergerus. Logikanya, jika ada orang yang ngotot mau menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur Bali tapi belum apa-apa sudah pernah mengkhianati partai besar, mengkhianati sikap politiknya, bisa jadi di masa depan partai yang baru ini juga akan dikhianati. Ingat saja pesan Bung Karno yakni jangan sesekali melupakan sejarah (JAS MERAH),” pesannya.
“Jadi jangan nodai Pilgub Bali dengan kandidat yang sudah punya jejak rekam sebagai figur yang lupa kacang pada kulitnya, ini berbahaya,” ungkap Gusti Wedakarna yang menjadi juara di Pemilu DPD RI 2014 lalu.
Maka dari itu, iapun memiliki pandangan bahwa di luar calon PDIP yang sudah turun rekomendasinya, agar partai-partai termasuk incumbent jangan memutuskan sesuatu terburu-buru dan panik, karena justru itu yang diinginkan oleh lawan.
“Kita akan lihat saja November sampai Desember ini semua hal bisa terjadi dan tidak terduga. Belum lagi kita dengar pasca penetapan Setya Novanto (Ketua Umum GOLKAR) sebagai tersangka dan saya rasa rekomendasi yang dipegang oleh jago dari Golkar pun masih bisa berubah, karena kemungkinan besar ada dorongan untuk penggantian Ketum Golkar,” katanya. Sedangkan KPUD, lanjutnya, membutuhan rekomendasi dengan tandatangan ketua umum dan sekjen partai yang sah dan terbaru, dan apakah sampai akhir pendaftaran nanti apa ada jaminan ketua umum akan bertahan? Tentu semua harus diantisipasi, katanya. Begitu juga sejumlah DPD partai politik di Bali juga harus membaca arah mata angin sikap DPP di pusat, jangan sampai membentuk koalisi di Bali tapi ujungujungnya DPP parpol tidak sepaham dan berbeda pilihan dengan DPD.
Menurutnya, ini pembelajaran politik yang sangat penting untuk anak muda Bali. Jadikan Pilgub 2018 sebagai ajang untuk mencerahkan, mencerdaskan rakyat serta melek politik bagi calon pemilih.
“Saya yakin, bahwa kefiguran seseorang akan sangat menentukan, dibandingkan partai politik di 2018 dan 2019,” pungkas Gusti Wedakarna yang juga pendiri The Marhaenisme Institute.(rs)