Sisi Kritis Workshop FP2030 Asia-Pacific: Ketika Anak Menjadi Ibu, Realitas Kehamilan Remaja di Indonesia

u10-IMG-20251012-WA0003
(ilustrasi foto-ist).

DENPASAR-fajarbali.com |Di sebuah kota kecil, seorang siswi SMA berusia 16 tahun harus menghentikan sekolah setelah dinyatakan hamil. Ia menikah karena tekanan keluarga dan lingkungan yang takut “aib” akan meluas. Kini, mimpinya pupus, harapan dan cita-cita hidup sudah terhapus seiring dengan datangnya kenyataan yang tak pernah ia bayangkan: ia hamil di usia yang begitu muda.

 Dunia yang dulu penuh warna mendadak menjadi kelabu. Sekolah terpaksa ditinggalkan, teman-teman menjauh, dan bisik-bisik tetangga menjadi bayang yang menyesakkan setiap langkahnya.

Kisah ini bukan satu-satunya. Di seluruh Indonesia, ribuan remaja perempuan mengalami hal serupa setiap tahun. Secara nasional, hasil Pendataan Keluarga Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN Tahun 2024 mencatat angka kelahiran pada remaja usia 15–19 tahun (Age Specific Fertility Rate-ASFR) menurun dari 19.7 per 1.000 wanita usia subur (WUS) usia 15-19 tahun pada 2023 menjadi 18.00 per 1.000 WUS pada 2024. 

Tetapi, dari 34 provinsi, hanya sembilan provinsi yang ASRF nya di bawah angka Nasional. Bahkan ASFR tertinggi berada pada angka 47 per 1.000 WUS usia 15-19 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa kehamilan usia muda masih menjadi tantangan serius dalam agenda pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.

Akar Masalah: Antara Sunyi dan Stigma

Minimnya edukasi seksualitas yang komprehensif menjadi akar utama masalah ini. Dalam laporan UNFPA Indonesia (2023), remaja berusia 15–24 tahun yang belum menikah kini menunjukkan peningkatan aktivitas seksual.

Pada tahun 2012, hanya 0,9% remaja perempuan dan 7% remaja laki-laki yang dilaporkan aktif secara seksual. Namun, pada 2015, angka tersebut naik menjadi 2,3% perempuan dan 7,3% laki-laki. 

Sejumlah penelitian terkini bahkan mengindikasikan bahwa angka sebenarnya kemungkinan lebih tinggi dari yang tercatat.

Sayangnya, hanya 14,1% remaja yang aktif secara seksual menggunakan alat kontrasepsi. Pengetahuan mengenai layanan kesehatan reproduksi juga masih terbatas — hanya 22% remaja usia 15–19 tahun yang tahu di mana bisa mengakses layanan tersebut, dan kurang dari 5% yang benar-benar pernah memanfaatkannya.

BACA JUGA:  Pra SFF 2025, Youth Volunteers dari 10 Negara Kunjungi Sekolah dan Gelar Bazar Pakaian

Keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi ini meningkatkan risiko kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, serta berbagai dampak sosial dan ekonomi lainnya. 

Ketidaktahuan ini diperparah oleh budaya tabu yang membuat diskusi tentang seksualitas dan tubuh dianggap memalukan. Akibatnya, remaja sering kali mencari jawaban dari sumber tidak tepercaya — teman sebaya, media sosial, bahkan mitos yang beredar turun-temurun.

Kondisi ini menempatkan perempuan muda dalam posisi sangat rentan — tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. 

Dampak yang Tak Sederhana

Kehamilan remaja berdampak negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, juga dapat berdampak sosial dan ekonomi. Kehamilan pada usia muda atau remaja antara lain berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), perdarahan persalinan, yang dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi. Kehamilan pada remaja juga terkait dengan kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi tidak aman.

Riset Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (2022) juga menemukan bahwa peluang kematian neonatal dari kehamilan remaja bisa mencapai 7,4 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada usia ideal 20–34 tahun.

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah mencatat kemajuan berarti dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). Berdasarkan data BPS, AKI turun dari 346 per 100.000 kelahiran hidup pada 2010 menjadi 189 pada 2020, atau menurun sekitar 45 persen. Meski begitu, angka ini masih tergolong tinggi dan setara dengan beberapa negara di Afrika. 

Pemerintah terus berupaya mencapai target RPJMN 2024 sebesar 183 per 100.000 kelahiran hidup, serta tujuan SDGs 2030 yaitu di bawah 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Seiring dengan itu, Angka Kematian Bayi (AKB) juga menurun dari 26 menjadi 16,85 per 1.000 kelahiran hidup dalam periode yang sama. 

BACA JUGA:  Fokus untuk Menyiapkan Jaringan Masa Depan; Indosat Ooredoo dan Ericsson Lanjutkan Kemitraan untuk Menggunakan Teknologi Artificial Intelligence/Machine Learning

Meski menunjukkan kemajuan, peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak tetap menjadi kunci agar setiap persalinan membawa kehidupan, bukan kehilangan.

Kematian ibu tidak hanya meninggalkan luka emosional, tetapi juga membawa dampak jangka panjang bagi anak-anak yang ditinggalkan. 

Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan ibu berisiko menyebabkan malnutrisi dan rendahnya tingkat pendidikan anak. Kondisi gizi ibu pun berperan penting: 13 persen bayi lahir dengan berat badan rendah di Indonesia terkait dengan gizi ibu yang tidak mencukupi selama kehamilan (UNICEF, 2020). Masalah ini berpotensi memicu stunting, meningkatkan risiko kematian neonatal, dan menjadi awal munculnya penyakit tidak menular di usia dewasa. 

Karena itu, menjaga kesehatan ibu berarti menjaga keberlanjutan generasi—karena setiap ibu yang selamat adalah awal dari kehidupan yang lebih baik.

Dampaknya tak berhenti di sana. Banyak remaja hamil yang harus putus sekolah, kehilangan kesempatan kerja, dan akhirnya masuk ke lingkar kemiskinan yang sulit diputus.

Anak yang lahir dari ibu remaja juga berisiko mengalami kekurangan gizi dan hambatan tumbuh kembang. Kehamilan di usia remaja sering kali menjadi pengalaman berat yang menimbulkan rasa malu, takut, dan terisolasi dari lingkungan (Putri, 2019). 

Banyak dari mereka menyembunyikan kehamilannya karena rasa bersalah dan takut ditolak (Sari, 2013), padahal mereka justru membutuhkan dukungan dan penerimaan. Tanpa ruang aman untuk berbagi, risiko depresi, kecemasan, hingga perilaku menyakiti diri akan meningkat (Fergusson dkk., 2006). 

Di balik setiap kehamilan remaja, ada kisah tentang kerentanan yang seharusnya disambut dengan empati, bukan penghakiman.

Dengan kata lain, satu kehamilan remaja bisa menciptakan efek domino lintas generasi — dari kemiskinan, ketimpangan pendidikan, hambatan tumbuh kembang anak dan kesehatan mental.

Menyiapkan Generasi yang Siap: Dari BKR hingga FP2030

Berbagai upaya kini dilakukan untuk menekan angka kehamilan remaja dan memperkuat ketahanan keluarga muda. Program Bina Keluarga Remaja (BKR) yang dikembangkan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN menjadi salah satu intervensi penting. 

BACA JUGA:  Tabanan Luncurkan Sekolah Lansia di 8 Desa, Wujudkan Lansia Sehat, Aktif dan Bermartabat

Program ini mengajak orang tua untuk terlibat aktif dalam memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi kepada anak — membuka ruang komunikasi, bukan menutupinya.

Sementara di lingkungan sekolah dan komunitas, Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) dan Generasi Berencana (GenRe) menyediakan wadah bagi remaja untuk berdiskusi dan belajar tentang kesehatan reproduksi dengan pendekatan sebaya. Pendekatan ini terbukti efektif karena membuat topik sensitif menjadi lebih mudah diterima di kalangan muda.

Secara global, kemitraan FP2030 juga menjadi tonggak penting dalam memperjuangkan keluarga berencana yang sukarela dan berbasis hak.

Indonesia, sebagai bagian dari kawasan Asia-Pasifik, berperan aktif dalam mendorong kolaborasi lintas sektor dan negara melalui FP2030 Asia-Pacific Regional Focal Points/South-South Learning Workshop di Bali, yang menyoroti pentingnya memperluas akses layanan dan advokasi berbasis bukti.

Pendekatan baru ini menekankan bahwa keberhasilan program keluarga berencana tidak lagi diukur dari rendahnya angka kelahiran, tetapi dari sejauh mana perempuan — termasuk remaja — memiliki hak untuk memilih dan akses terhadap layanan yang aman dan setara.

Menata Narasi Baru: dari Diam Menjadi Dialog

Menangani fenomena kehamilan remaja tidak cukup hanya dengan larangan atau stigma. Diperlukan keberanian untuk membuka ruang dialog — di rumah, sekolah, dan ruang publik. Remaja berhak tahu tentang tubuh dan pilihan mereka tanpa takut dihakimi.

Ketika masyarakat berani bergeser dari pola pikir “menghukum” menuju “mendampingi”, maka harapan baru bisa tumbuh. Karena mencegah anak menjadi ibu terlalu dini bukan hanya soal menurunkan angka statistik, tapi tentang menjaga masa depan generasi — agar setiap anak perempuan punya kesempatan tumbuh, belajar, dan bermimpi tanpa terhenti oleh stigma.

Penulis: Ari Listiani (BKKBN Bali). 

 

Scroll to Top