Manajemen guru masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung tuntas hingga organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Hari Guru Nasional (HGN) berusia 72 tahun.
DENPASAR-fajarbali.com | Manajemen guru yang dimaksud, salah satunya menyoal minimnya pengangkatan tenaga guru oleh pemerintah. Demikian dikatakan Ketua Provinsi PGRI Bali I Gede Wenten Aryasudha di Denpasar, Senin (20/11/2017).
Selaku pimpinan organisasi, dirinya berharap kepada pemerintah agar melakukan upaya antisipasi dengan mengangkat tenaga guru sesuai dengan jumlah guru yang pensiun, atau minimal jumlahnya mendekati. “Ini kan ujung-ujungnya soal kualitas pendidikan. Dampaknya dirasakan dalam jangka panjang kalau tidak diantisipasi,” kata Wenten.
Wenten tak menampik jika persoalan kekurangan tenaga guru terjadi hampir di semua wilayah Indonesia, termasuk Bali. Sehingga persoalan itu menjadi isu nasional. Pihak PGRI, kata dia, terus berupaya menyampaikan usulan-usulan tersebut ke pemerintah. “Kami yakin pemerintah pusat atau daerah pasti punya komitmen kuat soal pengangkatan tenaga guru. Tapi mungkin karena ada masalah pada anggaran,” sebutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wenten juga mengimbau tenaga guru berstatus honorer yang masih menerima upah jauh di bawah UMR untuk bersabar, sembari menunggu kebijakan pemerintah dan perjuangan usulan induk organisasi. “Pemda saya lihat juga sudah mulai memberi tambahan upah bagi guru honorer dari APBD, seperti di Kabupaten Badung,” ungkapnya.
Seiring momentum HUT PRGI tahun ini, pria asal Karangasem ini mengenang sejarah panjang berdirinya organisasi PGRI yang berawal dari perjuangan guru-guru pribumi pada zaman Belanda di tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
Organisasi ini, sambungnya, bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah. “Dengan latar pendidikan yang berbeda-beda, mereka umumnya bertugas di sekolah desa dan sekolah rakyat angka dua,” tuturnya.
“Tidak mudah bagi PGHB memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Sejalan dengan keadaan itu, di samping PGHB berkembang pula organisasi guru baru antara lain Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS) dan yang bercorak keagamaan,” kenangnya menuturkan sejarah.
Ditambahkan, kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi terhadap pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah kepala HIS yang dulu selalu dijabat oleh orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka”.
Selanjutnya, masih menurut Wenten, pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.
Keadaan berubah di era pendudukan Jepang. Segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku, sepakat dihapuskan.
Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 - seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan. (gde)