Oknum Dewan Badung jadi Tersangka Lagi

Oknum anggota DPRD Badung I Made Wijaya alias Yonda kembali meradang. Setelah terlibat kasus reklamasi liar di pesisir barat Tanjung Benoa beberapa waktu lalu, Yonda kembali menjadi tersangka utama kasus pungli terhadap pengusaha watersport di Tanjung Benoa, Badung.

 

DENPASAR-fajarbali.com | Menurut Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum, AKBP Sugeng Sudarso mengatakan politikus fraksi Gerindra ini berperan sebagai intelektual leader atau yang memiliki inisiatif dalam menjalankan punggutan liar di sejumlah usaha water sport.

“Dia (Yonda, red) sebagai Bendesa Adat Tanjung Benoa kita tetapkan sebagai tersangka karena sebagai intelektual leader atau orang yang mempunyai inisiatif,” beber AKBP Sugeng didampingi Kasubdit I Ditreskrimum Polda Bali, AKBP Tri Kuncoro, Kamis (16/11/2017).

Diakuinya, meski tersangka Yonda saat itu masih menjalani persidangan terkait kasus reklamasi liar, dia tetap akan diperiksa sebagai tersangka. Selain itu, ada empat orang lagi yang ikut dijadikan tersangka yakni IMS, IKS, IWK dan NKR.

Mantan Kapolres Karangasem ini menjelaskan Wakil Bendesa Adat Tanjung Benoa, IMS berperan sebagai pembuat perarem tentang gali potensi wisata bahari sejak tanggal 12 Januari 2015. Kemudian IKS sendiri berperan sebagai ketua gali potensi, lalu IWK menjadi Ketua BPDA.

Sedangkan NKR paling pertama dijadikan tersangka lantaran memungut gali potensi di pengusaha water sport yang ada di wilayah Tanjung Benoa, Nusa Dua. “Masing-masing pelaku ada keterlibatannya, total ada 79 saksi yang sudah kami periksa,” jelasnya. Yonda bersama IMS, IKS, dan IWK ditetapkan sebagai tersangka sejak tanggal 25 Oktober 2017.

Para tersangka tidak ditahan polisi karena ancaman hukuman yang dikenakannya tidak diatas 5 tahun dan pertimbangan lainnya mereka dijamin karena tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta mengulangi perbuatannya apalagi tersangka merupakan orang Bali yang tidak mungkin melakukan itu.

AKBP Sugeng menegaskan selama dua tahun atau sejak Yonda menjabat sebagai Bendesa Adat Tanjung Benoa, keuntungan yang diraup dari punggutan liar itu berkisar antara Rp 5 Miliar sampai Rp 6 Miliar. Untuk per tahunnya, gali potensi bahari bisa mengumpulkan dana sebesar Rp2,4 miliar, per bulannya bisa mencapai sekitar Rp 200 juta.

Wadirreskrimum Polda Bali menegaskan uang punggutan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga memunculkan dugaan bahwa uang terkumpul tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi atau perorangan. “Uang Rp 2,4 Miliar per tahun itu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dan sudah berjalan sejak desember tahun 2015,” terangnya.

Saat dimintai keterangan, hasil gali potensi bahari desa diakui tersangka digunakan untuk kesejahteraan masyarakat desa. “Iya katanya untuk kesejahteraan masyarakat tapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti itu,” tegasnya.

Sejauh ini, polisi masih mendalami porsi dana yang didapat masing-masing tersangka. Kata dia, mereka berlindung di balik aturan desa untuk menjalankan praktek pungli yang sudah berlangsung selama dua tahun terakhir. Sugeng menegaskan peraturan yang dibuat hanya melibatkan para tersangka.

Ia menjelaskan mereka mengatasnamakan desa adat namun dengan cara yang tidak benar dan menyalahi ketentuan dalam aturan pemunggutan dana dari desa adat. “Karena desa adat kan punia atau sukarela kan, tapi dia memasang target sekian. Itulah pemerasannya sebagai unsurnya,” ungkapnya.

Sampai saat ini pihaknya masih mencoba menganalisa kasus ini secara mendalam. Seperti yang diberitakan sebelumnya, pada tanggal 26 Juli 2017 kemarin, Yonda menarik uang Rp 962 juta yang berasal dari dana hasil gali potensi bahari. Dana yang dikucurkan, digunakan untuk biaya operasional pengacara perkara yang dihadapinya di Polda Bali beberapa waktu lalu. (hen)