Ogoh-Ogoh: Warisan Budaya Bali dalam Dinamika Seni dan Ritual

IMG_8834
Parade Ogoh-ogoh jadi daya tarik wisata budaya Bali yang spektakuler. (Tha)

DENPASAR-fajarbali.com | Ogoh-ogoh sebagai daya tarik wisata budaya Bali yang spektakuler tidak hanya menampilkan kemegahan seni rupa, tetapi juga menyimpan nilai-nilai spiritual dan filosofi mendalam. Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Suci Nyepi yang menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara.

Akademisi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar Dr Komang Indra Wirawan SSn MFil H atau akrab disapa Komang Gases mengatakan, tradisi Ogoh-ogoh merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. Kata ‘Ogoh-ogoh’ berasal dari bahasa Bali, yaitu ‘ogah-ogah’, yang berarti digoyangkan atau digerakkan. Sesuai dengan namanya, patung raksasa ini diarak keliling desa saat prosesi Pengerupukan, sehari sebelum Nyepi.

“Meskipun bentuk modern Ogoh-ogoh mulai berkembang luas sejak 1980an, konsep arak-arakan patung raksasa yang melambangkan Bhuta Kala (kekuatan negatif) telah ada sejak zaman dahulu. Tradisi ini semakin populer sejak tahun 1983, pertama kali dipentaskan di Desa Kesiman, Denpasar, kemudian diperkenalkan secara luas pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XII tahun 1990. Sejak itu, Ogoh-ogoh menjadi bagian dari Tawur Kesanga, yaitu upacara penyucian alam menjelang Nyepi, yang kemudian berkembang sebagai ekspresi seni, kreativitas, dan ajang kompetisi bagi masyarakat Bali,” jelas Komang Gases kepada, Selasa (25/3/2025).

Untuk mempertahankan serta melestarikan budaya ini, berbagai pihak seperti pemerintah, desa adat, yowana (pemuda), dan instansi terkait sering mengadakan perlombaan Ogoh-ogoh. Namun, menciptakan Ogoh-ogoh ‘berkualitas tinggi’ memerlukan pemahaman mendalam terhadap beberapa aspek penilaian.

Juri lomba Ogoh-ogoh Kasanga Fest ini mengungkapkan, perlombaan Ogoh-ogoh dinilai berdasarkan empat aspek utama.

  • Pertama, Ideoplastis (Konsep dan Ide).

Aspek ini menilai makna filosofis dan tematik dari Ogoh-ogoh yang dibuat. Ogoh-Ogoh sering terinspirasi dari mitologi Hindu, seperti kisah dalam Ramayana, Mahabharata, atau legenda rakyat Bali. Selain itu, tema juga dapat diangkat dari fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Konsep yang baik harus memiliki pesan moral yang relevan dengan kehidupan masyarakat Bali.

BACA JUGA:  WHDI Badung Gelar Pelatihan Pembuatan Upakara Otonan Tumpeng 7

Gagasan dalam menampilkan tokoh yang dipilih harus unik dan inovatif. Interpretasi baru terhadap karakter yang sudah dikenal akan memberikan daya tarik tersendiri dan memperkuat nilai artistiknya. Semakin kuat konsep dan ide yang disampaikan, semakin tinggi pula nilai aspek ideoplastis dalam lomba.

  • Kedua, Psikoplastis (Bentuk dan Struktur Fisik).

Kriteria ini menilai bagaimana konsep dan ide diwujudkan dalam bentuk visual Ogoh-ogoh. Dari sisi proporsi (jejaeg) ukuran dan bentuk Ogoh-ogoh harus seimbang dan harmonis, mencerminkan karakter yang diangkat. Dari sisi anatomi detail tubuh, ekspresi wajah, dan postur Ogoh-ogoh harus sesuai dengan karakter. Misalnya, tokoh raksasa harus terlihat menyeramkan, sedangkan tokoh dewa harus memiliki aura keagungan.

Dari sisi warna pemilihan warna Ogoh-ogoh harus sesuai dengan karakter dan memiliki makna simbolis. Misalnya Merah untuk kemarahan, keberanian, Hitam untuk kekuatan gelap, dan Emas untuk keagungan.

Dari sisi keserasian dan keseimbangan  seluruh elemen visual Ogoh-ogoh harus selaras, baik dalam bentuk, warna, maupun ekspresi. Dari sisi ekspresi gestur dan ekspresi wajah Ogoh-ogoh harus dapat menyampaikan emosi karakter secara kuat.

Sementara dari sisi konstruksi rancang bangun Ogoh-Ogoh harus memiliki struktur yang kokoh dan seimbang, karena akan diarak dalam pawai. “Aspek psikoplastis sangat menentukan kualitas estetika dan daya tarik visual Ogoh-ogoh secara keseluruhan,” ujar Ketua Yayasan Gases Bali.

  • Aspek ketiga, yakni kreativitas (originalitas, inovasi, dan ornamen pendukung).

Aspek ini menilai sejauh mana Ogoh-ogoh menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda. Dari sisi originalitas konsep yang diangkat harus unik dan tidak sekadar meniru desain yang sudah ada. Dari sisi inovasi penggunaan teknik baru dalam pembuatan, material tidak biasa, atau mekanisme gerak modern, seperti mekanisme hidrolik atau elektrik, dapat meningkatkan nilai inovasi. Dari sisi ornamen pendukung ornamen seperti pakaian, aksesoris khas, atau elemen tambahan seperti efek pencahayaan dapat memperkaya visual Ogoh-ogoh. “Aspek kreativitas menjadi faktor utama yang membedakan satu Ogoh-ogoh dengan yang lainnya,” jelas pria asal Sesetan, Denpasar Selatan.

  • Aspek keempat adalah, seni rupa pertunjukan Ogoh-ogoh.
BACA JUGA:  Kembangkan Desa Wisata Desa Pedawa Angkat Rumah Tua

Komang Gases menjelaskan, selain sebagai karya seni rupa, Ogoh-ogoh juga harus mampu berfungsi sebagai elemen pertunjukan yang dinamis. Dari sisi gerakan dan dinamika misalnya beberapa Ogoh-ogoh dibuat dengan teknik mekanik, seperti kepala yang bisa berputar atau tangan yang bisa mengayun, untuk menambah daya tarik pertunjukan.

Dari sisi interaksi dengan penonton Ogoh-ogoh yang mampu membangun suasana dan melibatkan emosi penonton akan memberikan kesan yang lebih mendalam. Sementara, dari sisi keselarasan dengan musik tradisional pawai, Ogoh-ogoh biasanya diiringi oleh gamelan baleganjur. Keserasian antara gerakan Ogoh-ogoh dan irama musik meningkatkan kekuatan pertunjukan. “Keseluruhan penyajian Ogoh-ogoh tidak hanya dinilai dari bentuknya, tetapi juga dari bagaimana ia diarak dan dipertunjukkan secara keseluruhan,” kata Komang Gases.

Ogoh-ogoh: Budaya atau Ritual Keagamaan?

Seiring perkembangan zaman, Ogoh-ogoh juga menghadapi berbagai tantangan. Sejak tahun 2005, ada anggapan bahwa Ogoh-ogoh sering menjadi ‘kambing hitam’, terutama saat pemilu atau peristiwa lain yang menimbulkan kekhawatiran akan gangguan ketertiban.

Beberapa pihak juga mengkritik waktu pementasan yang terkadang tidak sesuai dengan Hari Pengerupukan, serta dampak lalu lintas yang ditimbulkan oleh arak-arakan Ogoh-ogoh.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Komang Gases mengatakan Ogoh-ogoh tetap memiliki nilai sosial yang besar. Tradisi ini dapat mempersatukan generasi muda, memperkuat hubungan sosial antarwarga, serta menjadi ajang kompetisi seni yang positif.

Komang Gases mengungkapkan, jika ditinjau dari perspektif tradisi asli, sebelum Ogoh-ogoh populer, masyarakat Bali sudah menjalankan Meubu-ubu sebagai ritual pembersihan sebelum Catur Brata Penyepian. Pengerupukan, yang bertujuan menetralisir Bhuta Kala, tetap dapat dilakukan tanpa Ogoh-ogoh, cukup dengan memukul kentongan atau menghamburkan api (obor). “Tanpa Ogoh-ogoh, Hari Raya Nyepi dan Tilem Kesanga tetap berjalan sesuai ajaran Hindu Bali,” jelas Komang Gases.

BACA JUGA:  Proses Pembuatan Ogoh-Ogoh juga Dilombakan

Meski demikian, lanjutnya, dengan hadirnya Ogoh-ogoh, budaya Bali semakin kaya dengan ekspresi seni yang menarik. Meskipun bukan bagian dari ritual utama, Ogoh-ogoh menjadi simbol kreativitas masyarakat dalam memahami konsep Bhuta Kala, sekaligus sebagai media edukasi budaya bagi generasi muda.

Komang Gases menyebut Ogoh-ogoh bukan hanya sekadar arak-arakan, tetapi juga karya seni massal yang merepresentasikan kreativitas masyarakat Bali. Tanpa Ogoh-ogoh, Nyepi tetap berjalan, tetapi seni ini telah menjadi bagian penting dari identitas budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Sebagai masyarakat Bali, alangkah baiknya jika kita bersama-sama mendukung kreativitas seni ini, memperbaiki kekurangannya, dan tetap menjaga nilai-nilai budaya yang luhur. Seni adalah ekspresi kebahagiaan, dan melalui Ogoh-ogoh, masyarakat Bali dapat mengekspresikan rasa bakti kepada Sang Pencipta,” pungkas Komang Gases. (M-001)

Scroll to Top