Nah, Ini Kata Bawaslu Bali Terkait Adanya Baliho Paslon Yang Sudah Bertebaran

DENPASAR-fajarbali.com | Belum memasuki masa kampanye, baliho ataupun spanduk pasangan calon (paslon) sudah bertebaran hampir di setiap titik di Bali. Hal ini mendapat respon dari Bawaslu Bali selaku pengawas pemilu.

Saat ditemui seusai rapat pleno KPU Provinsi Bali pada hari Kamis (18/12018), Ketua Bawaslu Bali Ketut Rudia meminta kepada semua pihak khususnya Pasangan Calon agar menaati peraturan terkait pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK). “Kalau sekarang silakan pasang untuk sosialisasi. Namun, harus memperhatikan etika, estetika dan aturan pemerintah daerah setempat,” ujarnya.

Memasuki masa kampanya, 15 Februari – 23 Juni 2018, sudah tidak boleh lagi APK yang dipasang paslon atau pendukungnya. Pasalnya, APK paslon semuanya akan difasilitasi oleh KPU.

“Kalau masih, nanti akan kami tertibkan. Nanti kami pun ikut menertibkan bersama KPU dan pemerintah. Yang ada sekarang nantinya harus ditertibkan. Tidak boleh ada lagi. Satupun tidak boleh ada,” ujarnya.

Mengenai adanya baliho pendukung Ppaslon yang dipasang di rumah pribadi, Bawaslu Bali menyatakan tak masalah. Asalkan menghadap kerumah, bukan menghadap ke ruang publik seperti jalan. Apabila nantinya ditemukan ada yang menghadap keruang publik, maka akan dilakukan penertiban.
“Baliho boleh bergeser ke rumah pribadi, tetapi harus menghadap ke rumah. Tidak boleh menghadap ke jalan umum karena itu fasilitas umum. Kalau dibiarkan menghadap ke jalan umum, lalu apa gunanya APK yang difasilitasi oleh KPU, kalau ternyata masih banyak APK yang dipasang di rumah-rumah pribadi,” terangnya.

Soal APK yang difasilitasi oleh KPU, Rudia menjelaskan jika setiap paslon memiliki hak untuk membuat APK sejumlah 150 persen kali jumlah yang dicetak KPU. Itupun, pemasangannya harus dipasang pasa titik-titik yang telah ditentukan oleh KPU. “Tidak boleh bebas. Tetapi harus di zona-zona yang sudah ditetapkan oleh KPU,” tegasnya.

Begitu juga soal brosur, pamflet, ataupun souvenir hanya dibatasi dengan nilai maksimal Rp. 50 ribu. Melebihi dari itu, bisa disebut juga dengan politik uang (money politics). Sanksinya, bisa mengarah pada pembatalan paslon, tim kampanye, dan relawan jika nantinya terbukti melanggar. Apalagi, jika pelanggaran secara TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Massif). (her)

Scroll to Top