DENPASAR-fajarbali.com | Mahasiswa dan Dosen Program Studi Pendidikan Seni Rupa dan Ornamen Keagamaan Hindu, Fakultas Pendidikan, Universitas Hindu Indonesia (Unhi) menyelenggarakan pameran lukisan dengan tema “Titi Ugal Agil” di Museum Puri Lukisan Ubud.
Pameran lukisan tersebut dibuka oleh Wakil Rektor IV UNHI Dr. I Komang Gede Santyasa, ST. M.T pada Sabtu tanggal 22 Februari 2025.
Hadir juga dalam pembukaan pameran yakni Penglingsir Puri Ubud, Prof. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) sekaligus memberikan sambutan, Lurah Ubud, Prajuru Desa Adat Ubud, Kaprodi Pendidikan Seni Rupa dan Ornamen Keagamaan Hindu, Dosen Prodi Pendidikan Seni Rupa Unhi, Babinsa Ubud, Kurator Pameran Dr. I Gusti Agung Paramita, S.Ag, M.Si dan seniman Ubud. Pembukaan pameran juga dimeriahkan pementasan Seni Kontemporer.
Ketua Panitia Pameran I Kadek Agus Dwi Dharma Saputra menyampaikan pelaksanaan pameran karya seni yang bertemakan “Titi Ugal Agil “ ini merupakan pelaksanaan kegiatan dalam rangka ujian akhir yang harus dipenuhi mahasiswa pendidikan seni rupa semester 7 tahun angkatan 2021.
Pameran ini bukan hanya menjadi hasil belajar bagi mahasiswa, namun juga melibatkan adik tingkat, dosen serta alumni prodi seni rupa untuk pengembangan minat bakat berkesenian, salah satunya melakukan kolaborasi dalam pameran ini.
“Ada sekitar 49 lukisan yang dipamerkan. Pameran ini merupakan implementasi dari kegiatan akademik Kami sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Rupa di Unhi,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Rektor IV Unhi Dr. I Komang Gede Santyasa, ST. M.T. menyampaikan apresiasinya kepada mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Rupa Unhi yang telah menyelenggarakan pameran karya di Museum Puri Lukisan.
Hal tersebut merupakan wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Selain itu, kegiatan pameran ini juga bermanfaat dalam menciptakan ekosistem dan budaya akademik di kalangan mahasiswa Unhi.
“Saya sangat mengapresiasi pameran lukisan ini. Selain sebagai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, pameran ini juga menciptakan ekosistem dan budaya akademik di kalangan mahasiswa,” paparnya.
Dr. I Komang Gede Santyasa, ST. M.T melanjutkan, tema pameran sejalan dengan posisi Unhi sebagai kampus yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dan agama Hindu.
“Jadi temanya sesuai dengan nilai ajaran agama Hindu dan kearifan lokal Bali. Pameran ini juga bisa sebagai media promosi bagi Unhi,” jelasnya.
Kurator pameran Dr. I Gusti Agung Paramita menjelaskan, tema Titi Ugal Agil memiliki makna tersendiri dalam pameran kolaboratof antara dosen dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Rupa dan Ornamen Hindu, Fakultas Pendidikan, Universitas Hindu Indonesia.
Bagi umat Hindu di Bali, tentu tidak asing dengan tema ini, mengasosiasikan sebuah tempat yang mengerikan—di mana roh-roh mendapat siksa neraka, berjalan di atas jembatan bambu yang bergoyang, di bawahnya menjulur lidah-lidah api yang siap membakar sang roh.
Kisah ini termuat dalam teks-teks sastra, salah satunya adalah Atma Prasangsa. Dalam teks ini dilukiskan berbagai siksaan sang roh yang selama hidupnya berbuat corah.
Setelah meninggal, rohnya akan melalui berbagai rintangan, dari tegal penangsaran, kawah candradimuka, kawah weci, batu macepak, titi gonggang sampai titi ugal-agil.
Menurut Dr. I Gusti Agung Paramita, cerita ini sangat populer di masyarakat Bali, tidak terkecuali di kalangan seniman, sehingga menginspirasi mereka untuk memvisualisasi cerita sastra dalam berbagai bentuk produk seni, salah satunya lukisan.
Karya seni rupa yang memvisualisasi secara dramatik cerita perjalanan roh yang termuat dalam lontar Atma Prasangsa sangat kuat pengaruhnya dalam menanamkan imajinasi orang Bali tentang kehidupan setelah kematian.
Pada pameran kali ini, tema Titi Ugal Agil yang dikaitkan dengan perjalanan roh setelah kematian tidak menggambarkan secara keseluruhan karya seni rupa yang dipamerkan, karena para perupa Unhi, terutama para mahasiswa memiliki tafsir tersendiri terhadap tema tersebut.
Jadi Titi Ugal Agil tidak hanya ada di alam setelah kematian dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, namun menjadi nyata dalam proses dan perjalanan kreatif para mahasiswa prodi seni rupa Unhi.
Menurut dia, jika Titi Ugal Agil diartikan sebagai jalan terjal penuh rintangan, maka jalan itulah yang ditempuh oleh para seniman muda Unhi. Mereka menganggap jalan kreatif adalah semacam Titi Ugal Agil yang akan dilalui untuk menciptakan sebuah karya yang memiliki karakter dan corak tersendiri sesuai dengan rintangan-rintangan yang dialami.
"Tiap seniman memiliki pengalaman kreatifnya sendiri, dan merasakan berjalan “di atas” Titi Ugal Agil, terombang-ambil dalam proses estetik, sampai benar-benar mampu melahirkan karya kreatif,” papar Dr. Agung Paramita.
Bagi Dr. I Gusti Agung Paramita, jadi seniman tidak mudah. Setiap karya yang dihasilkan tidak hanya menguras keringat dan imajinasi, tetapi juga mengoyak mental.
“Jadi tidak heran, para perupa Unhi memilih istilah Titi Ugal Agil untuk menggambarkan setiap tantangan dan rintangan dalam perjalanan kreatif mereka,” paparnya.
Seni Rupa Sebagai Media Didaktis
Menurut Dr. Agung Paramita, karya yang dipamerkan oleh dosen dan mahasiswa Seni Rupa Unhi menunjukkan bahwa seni tidak hanya sebagai media untuk mengungkapkan perasaan, menuangkan imajinasi, atau menangkap kesan-kesan inderawi terhadap realitas, melainkan juga menjadi media didaktis (pendidikan) dalam menyampaikan secara visual ajaran agama Hindu.
Hal ini tidak terlepas dari penciri dari Prodi Seni Rupa Unhi yang berlatar keagamaan Hindu.
Setidaknya, menurut Dr Agung Paramita, ini tercermin melalui beberapa judul dari karya dosen dan mahasiswa. Karya I Kadek Angga Yasa berjudul Alam Baka, Titi Ugal Agil dan Cikarbala melukiskan ajaran eskatologi dalam Hindu.
Lukisan tersebut mengisahkan perjalanan roh setelah kematian atau roh di alam baka. Lukisan berbahan pulpen akrilik di atas kanvas ini penggambarannya cukup dramatik, menampilkan roh-roh ringkih yang diinjak raksasa neraka, begitu juga karya berjudul Titi Ugal Agil dan Samsara.
Karya Angga Yasa ini bisa dikatakan yang paling relevan dengan tema yang diangkat.
Karya lain yang tak kalah filosofis adalah karya I Kadek Agus Dwi Dharma Saputra berjudul Triguna.
Istilah Triguna digunakan untuk menyebut Tiga Guna, sifat atau kualitas yang menyelimuti kehidupan manusia yang terdiri dari Sattwam, Rajas dan Tamas. Triguna Tattwa sebenarnya bagian dari ajaran agama Hindu yang bersumber dari Samkya Kuno.
Anima Sen Gupta, penulis buku Essays on Samkhya and Other System of Indian Philosophy menjelaskan bahwa dalam teori Samkya semua obyek mental dan material dari dunia fenomenal ini adalah kombinasi dalam proporsi yang berbeda dari Triguna atau tiga realitas tersebut.
Sattwam mewakili aspek ketenangan, kesucian, kebenaran, kebijaksanaan, sementara Rajas mewakili kualitas dan sifat-sifat dinamis seperti nafsu, semangat, keinginan yang kuat dan Tamas mencirikan perilaku yang dipengaruhi oleh ketamakan.
Kadek Agus Dwi Dharma memiliki interpretasi visual tersendiri perihal aspek Triguna ini yakni menampilkan visual manusia berkepala hewan, bersayap dan menunggangi babi. Sapi dan singa mewakili sebuah sifat dari Rajas yakni karakter keras, kuat, angkuh, semangat dan gesit, kemudian angsa merupakan simbol yang mewakili sifat Sattwam dalam diri manusia. Babi mewakili sifat manusia yang rakus dan malas (Tamas).
Manusia harus mampu mengendalikan semua sifat-sifat ini, terutama Rajas dan Tamas untuk mencapai kesempurnaan.
“Meskipun sebenarnya ketiga aspek ini adalah realitas yang tak terpisahkan dalam hidup manusia, semasih manusia dikungkung oleh tubuh dan semua aspek mentalnya, maka manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari Triguna tersebut. Manusia hanya bisa mengendalikannya saja,” paparnya.
Selain karya Agus Dwi Dharma Saputra berjudul Triguna, menurut Dr. Agung Paramita, ada juga karya lain yang tidak jauh-jauh dari tema ajaran agama Hindu dan tradisi Bali seperti Karma Phala, Orang Suci, Melasti dan karya lain yang tidak kalah estetiknya.
Ini sekaligus menunjukkan karakteristik dari para perupa Unhi yang ide karyanya tidak bisa dilepaskan dari tema-tema ajaran agama Hindu baik secara filosofis maupun ritualistik.
“Mereka telah mampu menginterpretasikan nilai-nilai ajaran agama Hindu ke dalam satu karya visual yang kreatif. Karya-karya mahasiswa seni rupa Unhi pun bisa menjadi media pendidikan agama Hindu bagi generasi muda, menanamkan ajaran agama Hindu melalui karya visual,” tutupnya.