DENPASAR-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Kongres Kebudayaan Bali IV tahun 2024, telah berlansung pada Jumat (6/12/2024) di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, dan dibuka langsung oleh Pj Gubernur Bali SM Mahendra Jaya.
Menurut Pj Gubernur, Kongres Kebudayaan Bali IV tahun 2024 ini mengambil tema “Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah sebagai Akselerasi Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali” menjadi upaya percepatan yang komprehensif dalam memperkokoh ketahanan seluruh objek pemajuan kebudayaan serta cagar budaya yang ada di Bali.
Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024 merupakan salah satu wujud nyata dalam upaya penguatan dan pemajuan Kebudayaan. Kongres ini dirancang untuk menghasilkan Pola Kebijakan Pemajuan Kebudayaan Bali (PKPKB), sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kebudayaan 2025-2030.
Pola Kebijakan Pemajuan Kebudayaan Bali hasil Kongres Kebudayaan Bali IV ini berisikan: Pokok Pikiran Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, Potensi, Peluang dan Tantangan, Problematik dan sifat Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, serta Rencana dan Program Kerja (2025-2029) yang melingkupi 19 objek penguatan dan pemajuan Kebudayaan Bali.
Tim Kurator/Perumus yang diketuai Prof. Dr. I Made Bandem, M.A., Drs. I Gde Nala Antara, M.Hum., Dosen Universitas Udayana (Sekretaris), serta para anggota; Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A., Prof. Dr. I Komang Sudirga, S.Sn.,M.Hum., Dr. I Nyoman Astita, MA., Budayawan dan Dr. Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Hum., menghasilkan 13 rekomendasi.
Pertama, kabupaten/kota harus segera menyusun peraturan tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan di tingkat Kabupaten/Kota. Kedua, Kabupaten/Kota segera mengimplementasikan Dinas Kebudayaan secara mandiri (tidak) digabung dengan Dinas/OPD yang lain).
Ketiga, Lembaga-lembaga non-formal perlu diberdayakan dan difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan. Keempat, Ekosistem kebudayaan perlu dibangun berkelanjutan dan sinergi antara: pranata; pelaku; lembaga; sarana dan prasarana; serta kegiatan kebudayaan.
Kelima, Kualitas pelaku kebudayaan perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan workshop sesuai dengan objek pemajuan kebudayaan. Keenam, sarana prasarana kebudayaan baru hendaknya segera dibangun serta merenovasi dan/atau merestorasi yang sudah ada.
Ketujuh, inventarisasi dan dokumentasi semua kegiatan kebudayaan harus segera dilakukan sehingga terwujud pangkalan data Kebudayaan Bali yang komprehensif melalui Ceraken Kebudayaan Bali (CKB).
Kedelapan, Perlunya disusun norma untuk mengatur penguatan kebudayaan sebagai sebuah strategi untuk mewariskan karya-karya maestro sebagai seorang Guru Desa/Guru Loka yang dianggap sebagai milik publik sebagai modal simbolik.
Sembilan, dalam konteks memajukan Kebudayaan, Bali harus diberi otonomi pengelolaan, pendanaan, dan pembiayaan agar identitas, kekhasan, dan keunikan budayanya terjaga secara berkesinambungan. Rekomendasi ke sepuluh, untuk dapat menjadi peluang yang menjanjikan, paradigma dan pelaksanaan tata kelola pariwisata Bali harus dikembalikan dan diluruskan dengan membangun dari Hulu ke Hilir disertai pengawasan yang intensif.
Kesebelas, pemerintah wajib melindungi, memajukan, menegakkan kebudayaan sebagai hak asasi dan hak konstitusi. Keduabelas, perlu kontekstualisasi kebudayaan (Bali) yang berkorelasi langsung dengan pranata, lembaga, sarana, dan prasarana yang berangkat dari sikap jujur dan wajib bertolak dari kenyataan yang sesungguhnya.
Terakhir, dengan adanya adaptasi kearifan lokal, dan landasan regulasi, pengembangan kebudayaan Bali berbasis iptek digital harus diteruskan dan diarahkan secara berkelanjutan agar kuat, maju, dan fungsional.
Pemerintah, lembaga-lembaga kebudayaan, dan masyarakat wajib juga berpartisipasi aktif untuk mencegah, mengawasi, dan mengatur agar perkembangan teknologi digital yang mengglobal tidak membahayakan, menenggelamkan, dan akhirnya mematikan kebudayaan serta kearifan lokal Bali.