Kemendikbud Ristek Dorong Semua Pihak Perkuat Pengelolaan Air Berbasis Kearifan Lokal

1716264526519_copy_800x533

Loading

Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Hilmar Farid (kanan) saat konferensi pers dalam World Water Forum ke-10 di BNDCC, Nusa Dua, Selasa (21/5). (Foto: Tha)

 

MANGUPURA-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Hilmar Farid mengenalkan tradisi lokal pengelolaan air di Bali bernama Subak dan jalur rempah dalam World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali, Selasa (21/5. Dalam laporannya Hilmar Farid mengajak semua pihak termasuk pemerintah daerah untuk menggali budaya atau keraifan lokal untuk menginspirasi pengeloaan air berkelanjutan. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jaring alur perlayaran kuno dari kawasan Pasifik hingga Afrika.

“Jalur rempah, membentang dari Pasifik sampai Kawasan Afrika yang jantungnya adalah nusantara. Menghubungkan antara pulau-pulau dan laut, dengan sistem sungai yang ada. Kita sudah merevitalisasi kawasan Muaro Jambi, sepanjang sungai Batang Hari, yang ditemukan situs antara 4 sampai 14 abad lalu. Kalau digali akan memberikan manfaat bagi pengelolaan air sekarang,” ungkap Hilmar Farid saat konferensi pers di Nusa Dua, bali.

Hilmar Farid dalam kesempatan tersebut mencontohkan belajar bagaimana pengeloaan air untuk persawahan seperti sistem Subak di Bali atau dikenal dengan sawah terasering. “Kita belajar tidak hanya dari sisi fisik saja, tetapi juga nilai yang bisa dipelajari di sistem Subak ini. Sistem Subak di Bali atau sistem pengelolaan air tradisional sangat  kuat pada filosofi dan budaya masyarakat adat. Hal ini sejalan dengan tema utama WWF yaitu “Air untuk Kemakmuran Bersama," ujarnya.

Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Hilmar Farid. (Foto: Tha)

 

Hilmar Farid berharap forum ini bisa meningkatkan kesadaran para pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, peneliti, dan masyarakat lokal, tentang nilai pengetahuan tradisional Indonesia dalam mengatasi tantangan kontemporer terkait air. Misalnya, mata pencaharian, pelestarian keanekaragaman hayati air, dan pemberdayaan masyarakat. “Kami terus mengingatkan pentingnya mendorong kegiatan nasional mengenai air dan warisan budaya antara lembaga pengelolaan air dan warisan budaya, dan mengembangkan agenda tematik untuk penelitian mengenai pentingnya warisan terkait air untuk tantangan pengelolaan air,” terangnya.

BACA JUGA:  BIRU: Kolaborasi Multi-Pihak Untuk Mendukung Misi Pembangunan Ekonomi Biru dan Hijau Indonesia

"Sesi ini juga bertujuan untuk mendorong kolaborasi dan kemitraan antara lembaga pemerintah, lembaga budaya, dan masyarakat lokal untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Subak ke dalam inisiatif pengelolaan air nasional," imbuhnya.

Guna pengelolaan air secara berkelanjutan, lanjut Hilmar Farid, harus ada keterlibatan masyarakat dari hulu hingga hilir untuk mendukung pengelolaan bijak yang lestari. Dengan begitu, lanjut Hilmar Farid,  perlunya peran pemerintah daerah dalam pemikiran yang baik guna pengelolaan air yang sustainable harus dijalankan. “Pengelolaan air tidak bisa diselesaikan dengan satu bidang ilmu saja, tetapi trans disipliner karena melibatkan stakeholders. Nah, kita bisa kolaborasi seperti pengelolaan danau batur di Bali. Banyak pihak yang dilibatkan agar pengelolaan air bisa dijalankan,” jelasnya.

Hilmar juga mengusulkan, bahwa dalam pilkada yang akan berlangsung dapat mengedepankan calon pemimpin daerah yang mampu berkomitmen dalam pengelolaan air. Ia menilai bahwa banyak persoalan kebijakan daerah yang memiliki keterbatasan sehingga peran kepada daerah sangat penting. “Jadi moment pilkada sangat baik dalam memuliakan penggelolaan sumber air berbasis kearifan local,” tandasnya. (M-001)

Scroll to Top