Jurang Legitimasi

u3-eddy-gorda
Dr. AAN. Eddy Supriyadinata Gorda

Dentuman meriam yang memecah kesunyian di setiap peringatan Hari Pahlawan seolah bukan lagi sekadar penanda hormat, melainkan gema ironi yang membangkitkan pertanyaan mendasar: Sejauh mana kekuasaan yang kita miliki saat ini benar-benar 'sah' di mata rakyat? Sejauh mana kursi-kursi kekuasaan yang diduduki para elite hari ini masih menyimpan ruh pengorbanan para pendiri Republik?

Lebih dari sekadar seremonial yang dihiasi tabur bunga dan pidato heroik, 10 November adalah cermin kritis, momen refleksi untuk mengukur seberapa jauh legitimasi kekuasaan para pengelola negara mewarisi legitimasi moral para pendahulu bangsa. Kita mengenang para pahlawan yang otoritasnya tidak terdefinisikan oleh peraturan birokrasi, melainkan oleh getaran hati rakyat yang memilih untuk patuh secara sukarela.

Legitimasi para pahlawan, yang kita peringati dengan khidmat, tidak pernah bersumber dari hiruk-pikuk bilik suara yang mahal atau rumitnya pasal-pasal undang-undang yang seringkali bias kepentingan. Ia adalah legitimasi yang otentik; dibangun di atas tumpukan integritas, pengorbanan, dan kepercayaan rakyat yang utuh dan tanpa syarat. Mereka memperoleh hak untuk memimpin karena mereka berjuang demi martabat kolektif, demi keadilan yang melampaui kepentingan diri sendiri.

Inilah yang diabadikan oleh Max Weber, sebagai Legitimasi Karismatik: kepatuhan yang didasarkan pada kualitas luar biasa yang dipercaya ada pada diri seorang pemimpin. Bagi para pahlawan, karisma itu adalah keberanian, kejujuran, dan kesediaan menanggung derita bersama rakyat. Karisma ini, yang lahir dari krisis, menghasilkan legitimasi yang hampir suci, tak lekang oleh zaman.

Dari “Karisma Moral” ke “Prosedur Kering”
Kaitan antara legitimasi pahlawan dan pemimpin hari ini adalah sebuah kontrak moral yang tidak tertulis, namun kini tampak diabaikan. Para pahlawan memberi kita dasar bahwa kekuasaan harus diperoleh melalui pengorbanan dan digunakan untuk keadilan. Sayangnya, dalam narasi kekuasaan kontemporer, kita melihat pergeseran drastis. Jika para pahlawan mengandalkan moralitas dan karisma untuk mendapatkan kepatuhan yang tulus, pemimpin saat ini cenderung menyandarkan diri pada prosedur dan hukum. Seorang pemimpin merasa 'sah' (legitimate) hanya karena telah memenuhi semua prasyarat legalitas formal, memenangkan Pemilu yang diatur undang-undang. Mereka terjebak pada Legitimasi Rasional-Hukum ala Weber, tetapi kehilangan isinya.

BACA JUGA:  Ratusan Peserta Didik SMK Se-Indonesia Ikuti 1st Indonesian Vocational Link and Match

Hal ini menciptakan jurang legitimasi. Kepatuhan pada pahlawan adalah wujud kepercayaan murni demi Martabat Kolektif. Sementara itu, kepatuhan pada kekuasaan saat ini seringkali bergeser menjadi Legitimasi Instrumental, di mana dukungan diberikan karena janji imbalan materiil atau keuntungan golongan. Kepatuhan rakyat menjadi formal dan terikat hukum, bukan karena ikatan batin yang tulus.

Bayangkan legitimasi pahlawan sebagai akte pendirian rumah yang ditulis dengan tinta darah dan air mata, yang menyatakan bahwa rumah ini (negara) dibangun murni untuk menjamin keadilan bagi semua penghuninya, dan hanya boleh dipimpin oleh mereka yang rela berkorban demi rumah itu. Pemimpin hari ini adalah manajer rumah yang menerima kunci dan mendapatkan hak legal untuk mengatur (melalui Pemilu). Namun, kontrak moral itu diabaikan ketika manajer ini mulai menggunakan kunci untuk memperkaya diri sendiri atau golongannya (korupsi), membuat aturan yang menyengsarakan penghuni, atau menindas suara-suara kritis; mereka mungkin masih legal memegang kunci, tetapi mereka telah melanggar akte moral pendirian rumah, merusak kepercayaan penghuni, dan membuat kekuasaan mereka terasa tidak sah.

Krisis legitimasi paling akut muncul ketika legalitas dijadikan tameng bagi ketidakadilan. Hukum, yang seharusnya menjadi alat pemersatu dan penjamin keadilan, justru dimanipulasi untuk mengamankan kekuasaan dan kepentingan segelintir elite. Ambil contoh penetapan sejumlah undang-undang yang disahkan secara prosedural di lembaga legislatif, namun ditolak secara etis oleh gelombang protes publik yang luas. Secara legal, UU tersebut sah karena prosesnya sesuai aturan, tetapi ia tidak sah (kehilangan legitimasi) di mata publik karena dianggap inkonstitusional secara moral atau hanya melayani kepentingan oligarki. Hukum dihormati hanya karena ada sanksi, bukan karena ada kepercayaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kepatuhan yang dihasilkan oleh ancaman hukum adalah kepatuhan yang rapuh, bukan legitimasi yang kuat. Legitimasi sejati memerlukan kerelaan rakyat untuk taat karena mereka percaya bahwa sistem tersebut adil dan bekerja untuk kepentingan mereka.

BACA JUGA:  Cegah Penyebaran Covid-19 Pemkot Denpasar Atur Jam Operasional Pasar Tradisional.

Korupsi: Pengkhianatan Terhadap Warisan Pahlawan
Kualitas penerimaan kekuasaan inilah yang menjadi sorotan paling tajam. Para pahlawan menghadapi ancaman dari kekuatan eksternal (penjajah) yang menentang kedaulatan moral bangsa. Namun, para pemimpin saat ini justru diancam oleh kekuatan internal (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang merusak kepercayaan publik, meskipun sudah legal.
Ketika seorang pejabat public yang secara hukum legal menjabat terjerat kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang, legitimasi moralnya hancur total. Rakyat mencabut hak moralnya untuk memerintah. Korupsi, dengan demikian, adalah bentuk pengkhianatan paling nyata terhadap pengorbanan para pahlawan. Para pahlawan berkorban untuk mencapai legitimasi negara yang berdaulat; para pemimpin saat ini berkewajiban melestarikan legitimasi tersebut dengan integritas, bukan dengan memperkaya diri. Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga meracuni sumber legitimasi itu sendiri, mengubah kekuasaan dari amanah publik menjadi alat untuk menjarah kekayaan publik.

Tantangan Karisma di Era Digital: Politik Pencitraan
Di masa pahlawan, karisma lahir dari medan pertempuran dan penderitaan. Di era digital, karisma seringkali merupakan produk rekayasa pencitraan dan politik visual yang didanai besar-besaran. Pemimpin saat ini mengandalkan branding dan popularitas sesaat, bukan integritas yang teruji.
Hal ini memunculkan pemimpin yang mungkin memiliki karisma buatan (populer dan disukai), tetapi mudah runtuh ketika dihadapkan pada ujian moral. Ketika kebohongan terungkap atau janji tidak terpenuhi, legitimasi yang dibangun di atas citra akan hilang seketika, dan yang tersisa hanyalah pejabat yang secara legal harus dihormati tetapi secara moral dicibir.
Inilah yang membuat perkataan Proklamator kita, Soekarno, terasa begitu relevan dan menusuk:
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Perjuangan hari ini adalah melawan penguasa yang legal namun zalim, melawan sistem yang membajak legalitas untuk menindas legitimasi moral.

BACA JUGA:  Sabu Hasil Sitaan dari Pasangan Lesbian Dimusnahkan BNNP Bali

Membangun Kembali Kontrak Moral
Hari Pahlawan menuntut kita semua untuk mendefinisikan ulang makna 'sah' (legitimate) dalam konteks kepemimpinan Indonesia. Legitimasi sejati bukanlah stempel hukum yang berlaku lima tahun sekali, melainkan kontrak moral yang terus diperbaharui setiap hari melalui tindakan yang berpihak pada keadilan.

Tugas kolektif kita bukan hanya memilih pemimpin yang menang secara hitungan suara, tetapi menuntut pemimpin yang layak dipercaya (trustworthy). Kekuasaan sejati tidak diukur dari seberapa kuat militer atau seberapa besar pundi-pundi yang dimiliki, melainkan dari kedalaman dan keluasan pengakuan rakyat. Jika seorang pemimpin hanya mengandalkan legalitas tanpa memperhatikan legitimasi moral, maka ia telah mengkhianati semangat pengorbanan para pahlawan dan kekuasaan yang ia pegang telah menjadi tirani yang diselubungi hukum.
Oleh karena itu, di Hari Pahlawan, marilah kita tidak hanya menabur bunga di makam, tetapi juga menanamkan benih kesadaran kritis: bahwa legalitas tanpa moralitas adalah nihilisme, dan bahwa kepatuhan sejati hanya layak diberikan kepada otoritas yang benar-benar mewarisi dan menjalankan ruh pengorbanan suci para pahlawan bangsa.

Penulis : Dr. A.A.Ngr Eddy Supriyadinata Gorda (Akademisi Universitas Pendidikan Nasional)

BERITA TERKINI

TERPOPULER

Scroll to Top