DENPASAR - fajarbali.com | Di tengah semaraknya pariwisata dan derasnya arus globalisasi, desa-desa di Bali menghadapi tantangan serius yakni bagaimana menggerakkan ekonomi rakyat tanpa kehilangan jati diri budaya. Dari keresahan itu, lahirlah Koperasi Merah Putih. Bukan sekadar lembaga ekonomi, koperasi ini dirancang sebagai gerakan kebangkitan desa, berlandaskan semangat gotong royong dan jiwa nasionalisme. Namun ada yang membuatnya berbeda yakni koperasi ini berdiri di atas fondasi filosofi Tri Hita Karana. Harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam, yang sejak lama menjadi nafas kehidupan masyarakat Bali.
Hingga kini, tercatat 716 Koperasi Merah Putih tersebar di desa dan kelurahan se-Bali. Angka ini bukan hanya statistik, melainkan simbol dari ratusan simpul ekonomi rakyat yang sedang dirajut kembali. Tujuannya jelas yakni memperkuat perdagangan antar desa, membuka akses pasar untuk produk lokal, dan memastikan perputaran uang tetap berada di desa bukan malah tersedot keluar. Di berbagai pelosok, koperasi ini mulai menunjukkan wajahnya. Ada yang bergerak di bidang pertanian, simpan pinjam, kerajinan, hingga pariwisata berbasis komunitas. Semua berangkat dari kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar mengikuti tren.
Keunikan Koperasi Merah Putih terletak pada caranya mengintegrasikan nilai Tri Hita Karana ke dalam tata kelola modern. Parahyangan, atau harmoni dengan Tuhan, tampak dari kebiasaan koperasi memulai rapat dengan doa bersama. Spiritualitas ini menanamkan kesadaran bahwa usaha bukan hanya soal profit, tapi juga restu Tuhan. Pawongan, atau harmoni dengan sesama, tercermin dari musyawarah dalam mengambil keputusan penting. Anggota koperasi dipandang sebagai keluarga, bukan sekadar penyetor modal. Sementara Palemahan, atau harmoni dengan alam, terwujud dalam dukungan koperasi terhadap pertanian organik, produk ramah lingkungan, dan kerajinan berbahan lokal. Dengan filosofi ini, tata kelola koperasi tidak berhenti pada laporan keuangan, tetapi juga mencakup tanggung jawab sosial dan ekologi.
Namun, perjalanan Koperasi Merah Putih tidak selalu mulus. Literasi keuangan pengurus belum merata. Potensi konflik internal juga tidak bisa diabaikan jika prinsip transparansi dan musyawarah dilanggar. Karena itu, pendampingan berkelanjutan sangat penting. Perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan lembaga pengawas harus ikut mengawal, bukan hanya meresmikan koperasi lalu melepas begitu saja.
Harapan ke depan, Koperasi Merah Putih bisa menjadi model nasional. Jika tata kelolanya konsisten, koperasi ini dapat membuktikan bahwa desa mampu berdaulat, mandiri, dan berbudaya. Digitalisasi koperasi perlu dipercepat agar transparansi lebih terjamin. Kolaborasi dengan perguruan tinggi juga penting, sehingga koperasi mendapat dukungan riset, pelatihan, dan pendampingan manajerial. Yang tak kalah penting, Tri Hita Karana harus benar-benar dipraktikkan, bukan sekadar jargon.
Bayangkan jika 716 koperasi di Bali menjalankan prinsip Tri Hita Karana secara konsisten: uang berputar di desa, alam tetap lestari, dan warga hidup rukun. Itu bukan sekadar mimpi, tetapi visi yang sedang dirintis.
Koperasi Merah Putih lahir sebagai jawaban atas keresahan ekonomi desa sekaligus tantangan globalisasi. Dengan menjadikan Tri Hita Karana sebagai kompas, koperasi ini bergerak tidak hanya demi profit, tetapi juga demi harmoni sosial, spiritual, dan lingkungan. Di balik setiap unit koperasi, tersimpan harapan kecil yakni penenun yang tersenyum karena karyanya dihargai, petani kopi yang bangga pada hasil panennya, atau pemuda desa yang melihat masa depan di tanah kelahirannya sendiri.
Gerakan ini memang masih muda dan penuh tantangan, tetapi semangatnya jelas: membangun Bali dari desa, dengan harmoni budaya yang tidak lekang oleh zaman.
Penulis : Anak Agung Putu Gede Bagus Arie Susandya, SE., M.Si., Ak - Mahasiswa PDIA Universitas Pendidikan Ganesha - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar










