Apakah Arja Lolos dari “Kematian”? Simak Pendapat Para Pakar

IMG-20250624-WA0015
Pementasan Arja Lingsar "Ruwat Gumi" yang dibawakan Sekaa Arja Gita Semara dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, serangkaian PKB ke-47, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Selasa (24/6/2025).

DENPASAR-fajarbali.com | Dramatari Arja yang dulu identik dengan tontonan generasi tua, kini hadir dalam rupa baru yang lebih segar dan relevan bagi penonton masa kini.

Di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47, publik diajak menikmati pertunjukan arja yang tidak hanya setia pada pakem tradisi, namun juga tampil kekinian: Arja Lingsar.

Dipentaskan Selasa, 24 Juni 2025, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Arja Lingsar menjadi bagian dari program “Bedah Karya” bertajuk “Arja Tak Jadi Mati”. Program ini tak sekadar menonton, tetapi juga mengajak audiens berdiskusi dan merenung. 

Pementasan ini pun sukses menyedot animo penonton yang didominasi generasi muda. 

Sekaa Arja Gita Semara dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar menjadi penyaji karya, dengan konsep yang ditata oleh I Wayan Sudiarsa dan I Wayan Sukra, serta musik garapan Gamelan Suling Gita Semara.

Dalam pertunjukan ini, Arja dikemas sederhana, namun sarat makna. Pementasan dilakukan dalam posisi duduk (lingsar) dengan busana minimalis, namun tetap mematuhi pakem arja secara penuh, mulai dari struktur papeson hingga jangkep. 

Lingsar, atau Linggih Sarat, melambangkan makna mendalam: duduk dengan penuh kesungguhan dan kesadaran, menyampaikan petuah-petuah kehidupan melalui sastra dan nyanyian.

Dengan tema “Ruwat Gumi”, Arja Lingsar menyuarakan keresahan masyarakat Bali di tengah gempuran modernitas dan pariwisata. Mulai dari isu global hingga problematika lokal, karya ini menjadi refleksi sosial yang mengajak pemirsa kembali ke jati diri dan spiritualitas Bali. 

Melalui lakon ini, masyarakat diajak untuk memohon pengampunan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan berharap pulihnya keharmonisan semesta.

Tak hanya menyuguhkan dramatari, Arja Lingsar memperkaya panggung dengan kolaborasi tiga kesenian Bali: Arja, Sanghyang, dan Gambuh. 

Pasca-pertunjukan, dilanjutkan dengan sesi diskusi untuk membedah sejarah dan eksistensi masa depan arja. Diketahui, arja pernah digandrungi, lalu redup, lalu tumbuh, redup bagai gelombang.

BACA JUGA:  Bupati Mahayastra Turut Mengukir Relief Pura Beji Beji Dalem Jantur, Cikal Bakal Lahirnya Desa Mas, Ubud

Kini Arja masih hidup, diyakini tak jadi mati dan tak akan mati karena fleksibel, bisa beradaptasi di tengah derasnya arus digitalisasi.

Keyakinan arja tak akan mati diamini oleh empat pembicara dalam diskusi. Seperti yang dikatakan narasumber Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, Prof. Dr. Drs. I Made Suarta, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa Arja tidak akan pernah mati. 

"Sepanjang masih ada agama Hindu dan adat istiadat Bali, Arja akan tetap hidup. Penonton mungkin menurun, tapi napas Arja tetap ada," katanya.

Ia menyebut, Arja pertama kali muncul di Klungkung sekitar tahun 1814, dikenal dengan nama Arja Dadap, sebelum menyebar ke seluruh Bali termasuk Singapadu yang kini menjadi pusat Arja, juga Sibang di Badung dan beberapa daerah di Jembrana. 

Arja kemudian masuk ke radio melalui RRI Denpasar berkat tokoh seperti Made Kredek, ayah dari Prof. Bandem.

"Saat ini, Arja masih aktif di daerah seperti Singapadu dan Keramas. Bahkan, Arja tidak pernah absen dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Dulu hanya sekadar balih-balihan (hiburan), kini menjadi bagian dari bebali (pertunjukan suci), bahkan sering dipadukan dengan upacara nedunang sesuhunan," tambah Prof. Suarta.

Sementara itu, Dr. I Ketut Kodi, SSP., M.Si., dosen ISI Denpasar, menyoroti bahwa Arja menyimpan kekuatan luar biasa karena menggabungkan sastra, pupuh, bahasa Bali, dan nilai-nilai pranayama (pengendalian napas). Menurutnya, menarikan Arja hal paling sulit dibandingkan seni lainnya.

"Harus hafal tarian, gending, makna filsafat, gamelan, sampai harus mampu menjawab gending teman secara spontan," paparnya.

Ia pun berharap agar Arja di RRI tetap dihidupkan dan meminta pemerintah Bali serius mempertahankan ruang siar tersebut.

Dalam ranah pertunjukan langsung, I Wayan Sudiarsa, S.Sn., M.Sn., dari Sanggar Gita Semara Peliatan menyampaikan optimismenya terhadap kelangsungan Arja. 

BACA JUGA:  PDI Perjuangan Jembrana Kembangkan Endek Bermotif Kreatif

Ia yang mulai bergelut secara serius di dunia Arja sejak 2019, menyebut bahwa Arja kini harus bersaing dengan sinetron dan hiburan populer lain.

"Kami tetap pentas setiap enam bulan. Bahkan saat pandemi, kami merancang pertunjukan Arja Lingsar di Pura Desa Adat Ubud. Sajian Arja ini untuk nedunang sesuhunan, agar tak selalu dengan Calonarang," jelasnya.

Jurnalis budaya Made Adnyana Ole turut menyumbang perspektif dari sisi budaya modern dan media. 

Ia menyebut Arja sempat terancam punah di tahun 1970-an karena salah satu penyebabnya para penari perempuan banyak yang menikah. 

Namun Arja diselamatkan oleh adanya Arja Bon atau meminjam penari dan sanggar lintas daerah. "RRI adalah penyelamat Arja. Kini ada Arja muani (laki-laki) yang bangkit kembali," paparnya.

Ole melihat Arja sangat fleksibel dan bisa beradaptasi seperti salah satunya yang dilakukan oleh Prof. I Wayan Dibia yang mengangkat novel Sukreni Gadis Bali karya AA Pandji Tisna sebagai lakon.

Arja baginya punya keunggulan yakni sastra yang dinyanyikan. Ia menilai salah satu tantangan Arja hari ini adalah durasi. Di tengah era digital, orang hanya sanggup menonton 1–7 menit. 

"Kenapa tidak dibuat Arja berdurasi 1 menit? Kenapa tidak dinaskahkan? Inilah tantangan baru, bagaimana Arja tetap hidup di dunia yang serba cepat," tegasnya. Empat pendapat narasumber ini menunjukkan bahwa Arja tak akan mati.

Scroll to Top